Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Seorang analis pembangunan desa dan konsultan pemberdayaan masyarakat yang mengutamakan integrasi SDGs Desa, mitigasi risiko bencana, serta pengembangan inovasi berbasis lokal. Ia aktif menulis seputar potensi desa, kontribusi pesantren, dan dinamika sosial di kawasan timur Indonesia. Melalui blog ini, ia membagikan ide, praktik inspiratif, dan strategi untuk memperkuat ketangguhan desa dari tingkat akar rumput. Dengan pengalaman mendampingi berbagai program pemerintah dan organisasi masyarakat sipil, blog ini menjadi ruang berbagi pengetahuan demi mendorong perubahan yang berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Lebaran bagi Pendamping Desa: Rindu yang Tertinggal

30 Maret 2025   19:26 Diperbarui: 2 April 2025   13:49 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Image by freepik)

Lebaran bagi banyak orang berarti pulang. Berkumpul dengan keluarga. Mencicipi masakan rumah yang hanya tersaji setahun sekali. Tapi bagi para pendamping desa, Lebaran adalah sebuah ironi. Lebaran justru berarti meninggalkan desa, walau hati mereka masih tertinggal di sana.

Sebagian besar hari mereka dihabiskan di pelosok. Berjalan menyusuri jalanan tanah, mendengarkan keluh-kesah warga, mendampingi rapat hingga larut malam. Desa bukan sekadar tempat kerja. Desa adalah kehidupan yang mereka pilih, dengan segala pelik dan indahnya.

Namun, ketika takbir bergema, mereka harus pergi. Rumah, tempat mereka tumbuh, menanti. Keluarga merindukan kepulangan. Meski di kepala, masih ada suara-suara yang tertinggal. Seorang kepala dusun yang bercerita tentang irigasi yang belum rampung. Seorang ibu yang ingin tahu apakah usahanya bisa mendapat bantuan.

Di dalam mobil atau bus yang membawa mereka pulang, ada kekosongan yang sulit dijelaskan. Sebuah perasaan ganjil. Seperti pulang, tapi sekaligus merasa meninggalkan sesuatu yang penting. Lebaran memang milik keluarga, tapi hati mereka telah terbelah.

Di rumah, mereka disambut dengan tawa dan pelukan. Dapur mengepul dengan aroma rendang dan opor. Namun, di sela obrolan tentang sanak saudara, ada momen-momen ketika pikiran mereka kembali ke desa. Membayangkan anak-anak yang biasa menyapa dengan riang, kini mungkin hanya bertanya-tanya.

“Ke mana Kakak?” Pertanyaan sederhana itu terngiang-ngiang di kepala mereka. Wajah-wajah kecil yang penuh rasa ingin tahu. Mereka yang selalu menyambut dengan ceria, kini tak menemukan sosok yang biasa mereka lihat setiap hari. Ada rindu yang tak terucap.

Bagi para pendamping desa, desa bukan sekadar tempat tugas. Desa telah menjadi bagian dari hidup mereka. Setiap jalan setapak, setiap rumah panggung, setiap orang tua yang menyapa dengan senyum ramah, adalah bagian dari perjalanan batin yang sulit dilepaskan.

Mereka tahu, desa adalah ruang perjuangan. Di sana, mereka mendengar kisah tentang akses pendidikan yang masih sulit. Tentang ibu-ibu yang berusaha bertahan dengan usaha kecil mereka. Tentang anak-anak yang berjuang meraih cita-cita meski terbatas fasilitas.

Meninggalkan desa untuk Lebaran bukan sekadar meninggalkan pekerjaan. Itu berarti meninggalkan harapan yang mereka bangun bersama warga. Mereka tahu, ada rencana yang tertunda, ada rapat yang harus ditunda, ada janji yang belum sempat mereka tepati.

Namun, keluarga juga memiliki hak atas mereka. Orang tua yang semakin menua, adik-adik yang menunggu cerita, dan keponakan yang tak sabar menyambut dengan lompatan. Semua itu adalah alasan mereka untuk pulang, meski hati masih tertinggal di desa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun