Ramadan pergi seperti angin yang menyapu debu. Singkat. Cepat. Meninggalkan jejak rindu yang melekat di hati. Setiap detik yang berlalu terasa seperti kehilangan sepotong cahaya. Seperti pagi yang kehilangan embun, seperti malam yang kehilangan bintang.
Kita baru saja merasakan malam-malam yang penuh doa. Sujud yang lebih panjang dari biasanya. Ayat-ayat yang mengalir lembut dari bibir, seperti sungai yang mengantarkan rindu kepada Tuhan. Kita baru saja menikmati sepertiga malam dengan harap, dengan tangis yang mungkin lebih jujur dari hari-hari biasa.
Namun, waktu melaju tanpa ampun. Ramadan yang kita dekap erat perlahan beranjak. Hari kemenangan telah datang, tetapi ada kesedihan yang sulit dijelaskan. Ada kegelisahan yang menyusup diam-diam. Akankah kita bertemu lagi dengan bulan yang sama? Akankah tubuh ini masih diberi kesempatan untuk bersujud dalam khusyuk yang lebih dalam?
“Ya Allah, pertemukan kami dengan Ramadan berikutnya. Jangan jadikan ini Ramadan terakhir kami,” doa itu terus terucap, lirih, terselip dalam sujud, mengalir bersama harapan yang tak pernah padam.
Setiap Ramadan datang membawa pesan yang sama: kesempatan. Kesempatan untuk menjadi lebih baik, untuk merawat hati yang mudah berkarat, untuk menyuburkan iman yang sering layu di tengah hiruk-pikuk dunia.
Tetapi kesempatan adalah sesuatu yang tak pernah pasti. Kita tidak tahu siapa yang akan sampai di Ramadan berikutnya. Kita tidak tahu apakah tangan kita masih bisa menggapai keberkahan yang sama di tahun depan.
Maka, kita hanya bisa berdoa. Kita hanya bisa meminta agar waktu masih berpihak, agar usia masih diberi panjang, agar langkah masih bisa berjalan menuju tarawih yang syahdu, menuju sahur yang penuh doa, menuju malam-malam yang dipenuhi lantunan Alquran.
Dalam kesunyian, dalam rindu yang tak terkatakan, kita mengingat kata-kata Kahlil Gibran, yang pernah menulis:
“Dan engkau ingin mengukur waktu tanpa musim, menginginkan terang tanpa bayang-bayang, mencari kehangatan di musim yang tak kunjung datang.”
Begitulah Ramadan. Ia datang dan pergi, meninggalkan kita dalam penantian yang panjang.
Kita adalah para perindu yang tak punya jaminan. Kita adalah para pejalan yang terus menunggu pintu Ramadan terbuka lagi. Kita adalah para pemohon yang tak henti meminta satu kesempatan lagi.