Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Kecamatan di Lombok Tengah kembali mengusung isu yang tak pernah usai: pembangunan rumah layak huni. Usulan ini muncul bukan tanpa alasan. Dari total penduduk Lombok Tengah yang mencapai 1.085.652 jiwa, data dalam Sistem Informasi Desa (SID) Kementerian Desa mencatat 394.169 jiwa telah terdata dalam SDGs Desa.
Namun, ketika kita menelisik lebih dalam, ada fakta yang menohok. Dari jumlah tersebut, hanya sebagian kecil keluarga yang menikmati lantai marmer, keramik, atau kayu berkualitas tinggi. Sebagian besar masih bertahan dengan lantai semen, bata merah, bambu, atau kayu kualitas rendah. Ini bukan sekadar angka, melainkan gambaran ketimpangan yang masih menganga.
Data dari SID Kemendesa menunjukkan bahwa hanya 2.165 keluarga memiliki lantai marmer atau granit, sementara 35.562 keluarga menggunakan keramik. Angka ini terlihat besar, tetapi menjadi tidak signifikan jika dibandingkan dengan 83.493 keluarga yang masih hidup dengan lantai semen atau bata merah. Ketimpangan ini masih nyata.
Bahkan, ada 1.059 keluarga yang tinggal di rumah berlantai bambu dan 1.841 keluarga dengan lantai kayu berkualitas rendah. Kondisi ini menggambarkan betapa masih banyak warga Lombok Tengah yang hidup dalam ketidaklayakan. Tanpa rumah yang layak, kesejahteraan menjadi sulit terwujud. Hal ini memperlihatkan ketimpangan yang masih bertahan.
Seperti yang diungkapkan oleh Johan Silas, pakar perumahan dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), dalam wawancara dengan Kompas, “Rumah layak huni adalah hak dasar setiap warga negara. Tanpa itu, mustahil berbicara tentang kesejahteraan.” Rumah layak huni bukan sekadar tempat berteduh, melainkan kebutuhan mendasar.
Musrenbang seharusnya menjadi ruang untuk menyuarakan kebutuhan mendesak ini. Namun, seringkali usulan yang muncul hanya berhenti di tingkat kecamatan atau kabupaten. Alokasi anggaran yang terbatas dan prioritas pembangunan yang tidak tepat menjadi penghambat utama. Akibatnya, rumah layak huni masih menjadi impian banyak warga.
Padahal, seperti yang ditulis oleh Budiman Sudjatmiko dalam bukunya Anak-Anak Revolusi, “Rumah adalah simbol martabat. Tanpa rumah yang layak, manusia kehilangan identitas dan rasa aman.” Di Lombok Tengah, hal ini terasa sangat nyata. Banyak keluarga yang tinggal di rumah reyot, dengan atap bocor dan lantai yang tidak rata.
Mereka tidak meminta rumah mewah, hanya tempat tinggal yang aman dan layak untuk keluarga. Persoalan rumah layak huni di Lombok Tengah juga tidak bisa dilepaskan dari dampak gempa bumi yang melanda wilayah itu pada 2018. Ribuan rumah hancur, dan hingga kini, banyak warga masih tinggal di rumah darurat. Situasi ini masih menjadi persoalan besar.
Rekonstruksi pascabencana memang telah dilakukan, tetapi belum menyentuh semua lapisan masyarakat. Seperti yang dilaporkan oleh Kompas pada 2022, “Proses rekonstruksi pascagempa Lombok masih menyisakan pekerjaan rumah besar, terutama dalam hal penyediaan rumah layak huni bagi korban gempa.” Banyak warga masih bertahan dengan kondisi serba kekurangan.
Ini menunjukkan bahwa bencana alam bukan hanya merusak infrastruktur, tetapi juga memperparah ketimpangan sosial. Dalam kondisi ini, partisipasi masyarakat dalam Musrenbang menjadi penting. Namun, partisipasi saja tidak cukup. Pemerintah harus memastikan bahwa usulan yang muncul dari Musrenbang benar-benar direspons dan diimplementasikan.