Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ramadan, Kesejahteraan yang Tertunda, dan Mental Pendamping Desa

13 Maret 2025   03:23 Diperbarui: 13 Maret 2025   03:23 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kesehatan mental (Sumber: kompas.id/baca/opini/2021/10/11/kesehatan-jiwa-bagi-semua-antara-asa-dan-realita)

Ramadan seharusnya menjadi bulan refleksi dan ketenangan. Namun, bagi ribuan pendamping desa, bulan suci justru diwarnai dengan kecemasan yang menggerogoti pikiran. Honor yang tak kunjung cair membuat mereka berada dalam situasi sulit. Beban kerja tetap berjalan, sementara kepastian penghasilan masih abu-abu, menciptakan tekanan ekonomi yang berat.

Lebih dari dua bulan, gaji mereka tertahan di sistem administrasi. Di saat harga kebutuhan pokok meningkat, ketidakpastian finansial ini menjadi pukulan berat. Ramadan yang identik dengan kebersamaan dan persiapan lebaran berubah menjadi ujian ketahanan mental. Beban ekonomi yang semakin meningkat memperburuk kondisi psikologis mereka, menjadikan Ramadan penuh kekhawatiran.

Bagi sebagian pendamping desa, keterlambatan honor bukan hal baru. Masalah serupa pernah terjadi di berbagai daerah. Pada tahun-tahun sebelumnya, kasus ini berulang tanpa ada perbaikan sistematis. Tidak ada kejelasan mengenai mekanisme pencairan yang lebih baik. Situasi ini menunjukkan lemahnya komitmen terhadap kesejahteraan tenaga pendamping desa (Saragih, 2022).

Tekanan mental akibat keterlambatan honor tidak bisa diabaikan. Riset menunjukkan bahwa ketidakpastian finansial berkontribusi terhadap stres kronis. Individu yang mengalami tekanan ekonomi berisiko mengalami gangguan kecemasan hingga depresi (Luthans, 2017). Kondisi ini tentu berdampak pada kinerja pendamping desa yang seharusnya fokus mendampingi masyarakat dalam berbagai program pembangunan.

Burnout menjadi ancaman nyata dalam kondisi seperti ini. Dalam teori psikologi kerja, burnout terjadi akibat kombinasi kelelahan emosional, ketidakpuasan kerja, dan kurangnya apresiasi dari sistem (Maslach & Leiter, 2016). Pendamping desa yang kehilangan motivasi kerja berpotensi mengalami penurunan produktivitas. Mereka yang seharusnya berperan aktif dalam pembangunan justru terjebak dalam ketidakberdayaan.

Kondisi ini semakin ironi jika melihat peran pendamping desa yang begitu strategis. Mereka adalah aktor utama dalam implementasi program pembangunan desa. Mereka memastikan kebijakan pemerintah dapat diakses oleh masyarakat. Namun, ketika hak mereka sendiri tidak segera terpenuhi, bagaimana mungkin mereka bisa menjalankan tugasnya dengan optimal tanpa tekanan psikologis?

Dalam perspektif sosial, kebijakan yang tidak berpihak pada kesejahteraan tenaga pendamping mencerminkan ketimpangan sistem. Pemerintah menuntut profesionalisme, tetapi abai terhadap hak dasar pekerja (Kompas, 2023). Hal ini bertolak belakang dengan prinsip pembangunan berkelanjutan yang menekankan kesejahteraan sosial sebagai fondasi utama. Ketidakpastian honor ini menciptakan paradoks dalam sistem pembangunan desa.

Di tengah kondisi ini, banyak pendamping desa yang harus mencari alternatif untuk bertahan. Ada yang mengandalkan pinjaman dari kerabat, ada pula yang terpaksa mencari pekerjaan sampingan. Situasi ini tentu mengganggu keseimbangan kerja dan kehidupan pribadi mereka. Bagi yang tidak memiliki pilihan, kecemasan finansial terus menghantui sepanjang Ramadan yang seharusnya membawa kedamaian.

Beban kerja pendamping desa tetap tinggi meskipun honor mereka tertunda. Mereka harus melakukan pendampingan masyarakat, memfasilitasi musyawarah desa, serta memastikan program pembangunan berjalan dengan baik. Namun, kondisi finansial yang tidak stabil membuat mereka sulit berkonsentrasi penuh. Hal ini berisiko terhadap efektivitas pelaksanaan program di tingkat desa.

Selain tekanan ekonomi, keterlambatan honor juga berdampak pada kondisi sosial pendamping desa. Mereka yang memiliki keluarga harus menghadapi dilema antara tanggung jawab pekerjaan dan kebutuhan keluarga. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar dapat memicu konflik domestik. Situasi ini menunjukkan bahwa keterlambatan honor bukan sekadar masalah administratif, tetapi juga berimplikasi sosial.

Banyak pendamping desa yang merasa kehilangan kepercayaan terhadap sistem. Mereka melihat bahwa setiap tahun masalah ini terus berulang tanpa solusi konkret. Janji pemerintah untuk memperbaiki sistem pencairan honor sering kali hanya sebatas retorika. Ketika tenaga pendamping tidak segera mendapatkan haknya, rasa ketidakpuasan semakin meningkat dan berdampak pada semangat kerja mereka.

Pemerintah seharusnya segera mencari solusi konkret. Salah satu opsi adalah reformasi sistem pencairan honor agar lebih transparan dan tepat waktu. Digitalisasi pencairan gaji harus dimaksimalkan untuk menghindari birokrasi berbelit yang memperlambat pencairan (Nugroho, 2021). Jika sistem lebih efisien, keterlambatan seperti ini bisa diminimalisasi dengan baik.

Selain itu, pendamping desa perlu mendapatkan perlindungan sosial yang lebih baik. Skema jaminan sosial dapat menjadi solusi jangka panjang untuk mengurangi ketidakpastian finansial mereka. Jaminan sosial yang layak dapat memberikan rasa aman bagi pendamping desa. Dengan adanya perlindungan tersebut, mereka tidak perlu khawatir terhadap keberlangsungan penghasilan mereka.

Jika kesejahteraan tenaga pendamping dijamin, mereka bisa bekerja lebih optimal tanpa dihantui kecemasan finansial. Produktivitas mereka dalam mendampingi masyarakat pun dapat meningkat. Dengan demikian, tujuan pembangunan desa yang berkelanjutan dapat tercapai dengan lebih efektif. Keberlanjutan pembangunan tidak bisa lepas dari kesejahteraan aktor-aktor di dalamnya.

Ramadan seharusnya menjadi bulan penuh keberkahan, bukan bulan yang menambah beban pikiran. Pendamping desa memiliki peran penting dalam membangun desa, namun mereka justru menghadapi tekanan ekonomi yang berat. Kondisi ini berlawanan dengan semangat Ramadan yang menekankan solidaritas dan kesejahteraan sosial bagi semua pihak yang terlibat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun