Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Menyambung Nadi Pertahanan dan Desa: Sinergi Anggaran untuk Kemandirian Komunal

10 Februari 2025   11:49 Diperbarui: 10 Februari 2025   11:49 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemerintah mengalokasikan anggaran terbesar untuk Kementerian Pertahanan (Rp166,26 triliun), Polri (Rp126,64 triliun), dan Badan Gizi Nasional (Rp71 triliun). Di sisi lain, sektor pendidikan, kesehatan, dan agama hanya mendapat porsi kecil. Data ini menimbulkan pertanyaan: bagaimana prioritas ini bisa berdampak langsung pada desa?

Fokus pada anggaran pertahanan dan keamanan seharusnya tidak dipandang sebagai hambatan, melainkan peluang. Desa, sebagai ujung tombak ketahanan nasional, bisa menjadi mitra strategis. Program village defense berbasis komunitas, misalnya, dapat memperkuat keamanan lokal sekaligus mendukung tugas Polri (Bappenas, RPJMN 2020-2024, 2022).

Sinergi Kementerian Pertahanan dengan desa dapat diwujudkan melalui pembangunan infrastruktur dual-use. Jalan yang dibangun untuk kepentingan militer bisa dimanfaatkan warga untuk akses ekonomi. Studi Bank Dunia (2021) menunjukkan, infrastruktur terintegrasi mengurangi kesenjangan sekaligus meningkatkan ketahanan wilayah perbatasan.

Badan Gizi Nasional berpotensi mengoptimalkan peran Posyandu di desa. Dengan anggaran Rp71 triliun, intervensi gizi berbasis lokal dapat diperkuat. Praktik serupa di Thailand, menurut jurnal Public Health Nutrition (2020), berhasil menurunkan stunting melalui kolaborasi pusat-desa.

Polri, dengan anggaran Rp126 triliun, perlu memperluas program community policing. Pelibatan karang taruna dalam pencegahan kriminalitas, misalnya, bisa mengurangi beban anggaran keamanan jangka panjang. Konsep ini sejalan dengan teori social capital Putnam (1993) tentang pentingnya jaringan komunitas.

Kejaksaan Agung dan BIN juga bisa berkontribusi melalui pendidikan hukum dan literasi digital di desa. Anggaran Rp24,38 triliun dan Rp7,05 triliun bisa dialihkan sebagian untuk membangun sistem pengaduan korupsi berbasis desa. Langkah ini mendukung SDGs poin 16 tentang tata kelola inklusif.

Di sisi lain, minimnya anggaran Kemendikbudristek (Rp22,54 triliun) dan Kemenkes (Rp19,63 triliun) justru menuntut kreativitas. Desa bisa menjadi laboratorium inovasi pendidikan dan kesehatan dengan memanfaatkan dana desa. Program smart village di Bali, menurut laporan Kemendes PDTT (2023), membuktikan hal ini.

Kementerian Pertahanan bisa mengadopsi model civil-military cooperation (CIMIC) ala Norwegia. Pelatihan teknologi pertanian oleh personel militer untuk petani di Papua, misalnya, akan memperkuat ketahanan pangan sekaligus membangun kepercayaan masyarakat (Jurnal Defense Studies, 2019).

Prioritas anggaran seharusnya tidak dilihat sebagai kompetisi, melainkan puzzle yang saling melengkapi. Dana besar di sektor hankam dan gizi harus menjadi katalisator pemberdayaan desa. Skema matched funding antara APBN dan dana desa bisa mempercepat pembangunan tanpa mengubah struktur anggaran.

Tantangannya adalah menghindari ego sektoral. Penelitian LIPI (2020) mengungkap, 60% program pusat gagal di desa karena tidak melibatkan perencanaan partisipatif. Di sinilah BIN dan Kejaksaan Agung berperan sebagai mediator kebijakan top-down dan bottom-up.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun