Pendataan SDGs Desa menjadi tonggak penting dalam upaya pembangunan berbasis data di perdesaan. Sejak digulirkan, skema ini telah mencatat capaian yang mengesankan. Data yang dihasilkan memberikan gambaran nyata kondisi desa, menjadi dasar kebijakan yang lebih tepat sasaran dan berkelanjutan.
Berdasarkan data dari laman sid.kemendesa.go.id pada 09/02/2025, sebanyak 109.152.726 kuisioner individu telah terisi, disertai 32.676.989 kuisioner keluarga, 439.894 kuisioner RT, dan 35.209 kuisioner desa. Angka ini merefleksikan komitmen kuat desa dalam menyajikan data mikro yang lebih akurat.
Dari data tersebut, tergambar potret kependudukan yang semakin jelas. Pada tahun 2023, total penduduk Indonesia yang tercatat dalam sistem desa mencapai 201.971.913 jiwa. Dari jumlah itu, 54,05 persen atau sekitar 109.169.705 jiwa masuk dalam cakupan pendataan SDGs Desa. Di sisi lain, pendataan keluarga telah mencatat 31.582.700 keluarga dari total 63.373.589 keluarga nasional, atau sebesar 49,84 persen.
Capaian ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebab, dalam konteks kebijakan berbasis bukti, memiliki data yang mendekati realitas adalah kunci utama. Desa kini memiliki instrumen yang dapat dijadikan dasar dalam perencanaan pembangunan. Dengan data yang lebih rinci, berbagai program dapat dirancang dengan lebih presisi, menghindari kebijakan yang bersifat generalisasi.
Namun, angka-angka ini juga mengisyaratkan tantangan besar. Pendataan yang sudah mencapai lebih dari setengah populasi belum cukup untuk menggambarkan kondisi desa secara menyeluruh. Sebagian desa masih menghadapi kendala teknis dan non-teknis dalam proses pengumpulan data. Akses terhadap teknologi, ketersediaan tenaga pendata, serta pemahaman masyarakat menjadi faktor yang perlu terus diperkuat.
Dalam konteks Indeks Desa Membangun (IDM), data terbaru menunjukkan bahwa dari 83.668 desa yang terdata, sebanyak 17.694 desa telah berstatus Mandiri (10,54 persen), sementara 43.284 desa masuk kategori Maju (25,78 persen). Sebanyak 62.668 desa masih berada di level Berkembang (37,32 persen), sementara desa yang berstatus Tertinggal mencapai 16.738 (9,97 persen), dan desa dengan kategori Sangat Tertinggal berjumlah 9.832 desa (5,86 persen).
Angka-angka ini menandakan bahwa meskipun ada kemajuan, kesenjangan antardesa masih cukup lebar. Desa-desa yang berstatus Mandiri dan Maju telah menunjukkan perkembangan yang pesat, tetapi desa-desa yang masih tertinggal membutuhkan intervensi yang lebih spesifik. Jika tidak ada akselerasi yang signifikan, ketimpangan ini bisa semakin melebar dan mempengaruhi aspek sosial serta ekonomi di tingkat lokal.
Menurut Amartya Sen dalam Development as Freedom (1999), pembangunan bukan sekadar peningkatan ekonomi, tetapi juga perluasan kebebasan dan kapasitas individu untuk menentukan arah hidupnya. Dalam konteks ini, data yang dimiliki desa bisa menjadi instrumen utama untuk memastikan pembangunan yang inklusif dan berbasis kebutuhan nyata masyarakat.
Sebagai apresiasi terhadap capaian ini, langkah selanjutnya adalah memastikan bahwa data tidak hanya terkumpul tetapi juga digunakan secara optimal. Pendataan SDGs Desa tidak boleh berhenti sebagai sekadar angka di atas kertas. Desa perlu diberi kapasitas lebih untuk memanfaatkan data ini dalam perencanaan pembangunan, baik dalam skala lokal maupun dalam sinergi dengan program nasional.