Setiap kali mengingat buletin Renaisans, saya selalu teringat pada semangat muda yang menggebu-gebu. Buletin itu lahir dari ruang diskusi kecil di antara mahasiswa, yang terinspirasi oleh karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Kami waktu itu tidak punya banyak sumber daya, tapi punya banyak mimpi. Renaisans adalah bukti bahwa mimpi-mimpi itu bisa diwujudkan, meski dengan cara yang sederhana dan serba swadaya.
Awalnya, semua berawal dari seorang kawan, Dedy Muztahdi, yang kami panggil “Ended”. Dialah yang pertama kali memperkenalkan karya-karya Pramoedya ke dalam lingkaran kami. Ended membawa novel-novel seperti Bumi Manusia, Rumah Kaca, dan Anak Semua Bangsa.
Kami membaca, bertukar pikiran, dan mendiskusikannya hingga larut malam. Diskusi itu bukan sekadar obrolan ringan, melainkan pergulatan pemikiran yang mendalam. Kami membicarakan tentang ketidakadilan, penindasan, dan semangat perlawanan yang terangkum dalam karya-karya Pram. Diskusi itu berlangsung selama lebih dari dua tahun, dan dari sanalah benih-benih Renaisans mulai bertumbuh.
Buletin Renaisans adalah kumpulan esai yang ditulis oleh mahasiswa. Setiap tulisan mencerminkan pergulatan pemikiran kami terhadap berbagai isu sosial, politik, dan kebudayaan. Rencananya, buletin ini terbit sekali sebulan.
Tapi, seperti halnya banyak inisiatif swadaya, jadwal terbit sering molor. Kami tidak punya dana besar, tidak punya tim profesional, dan semua dilakukan secara gotong royong. Tapi justru di situlah letak kekuatannya. Renaisans adalah buletin yang lahir dari semangat kemandirian dan kebersamaan.
Kami tidak hanya berdiskusi di ruang tertutup. Tiga kali kami berkunjung ke kediaman Pramoedya Ananta Toer di Utan Kayu, Jakarta Timur. Bertemu langsung dengan sosok yang karyanya begitu memengaruhi pemikiran kami adalah pengalaman yang tak terlupakan.
Pramoedya bukan sekadar sastrawan, tapi juga pemikir yang kritis dan pejuang yang gigih. Dari dialah kami belajar bahwa menulis bukan sekadar aktivitas intelektual, tapi juga bentuk perlawanan. Pada ulang tahun Renaisans yang kedua, kami bahkan berhasil mengundang Pramoedya sebagai pembicara.
Sayangnya, tidak ada dokumentasi yang tersisa dari momen-momen berharga itu. Waktu itu, kami menganggap hal-hal seperti itu tidak penting. Tapi sekarang, saya sadar bahwa dokumentasi adalah cara mengabadikan sejarah.
Pramoedya Ananta Toer, melalui karya-karyanya, mengajarkan kami tentang pentingnya kesadaran sosial. Dalam Bumi Manusia, misalnya, Pram menggambarkan bagaimana kolonialisme tidak hanya menindas secara fisik, tapi juga mental. Tokoh Minke, yang terinspirasi dari sosok Tirto Adhi Soerjo, adalah representasi dari semangat kebangkitan intelektual.
Pramoedya menulis, “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan” (Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia, 1980). Kalimat itu sering kami diskusikan dan menjadi semacam mantra bagi kami dalam menjalankan aktivitas intelektual.