Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kemewahan Rasa dalam Semangkuk Mie Instan Keluarga Desa

31 Januari 2025   10:21 Diperbarui: 31 Januari 2025   10:21 412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mie instan (sumber: Kompas.com - 18/09/2024)

Malam itu, di sebuah desa, kami duduk di beranda rumah seorang warga. Lima malam menginap di sana untuk mendampingi pelatihan akses dana desa. Saat itu, kami sibuk mengevaluasi materi, berdiskusi dengan sesama fasilitator. Di samping tempat kami menginap, ada sebuah keluarga kecil yang duduk melingkar di teras mereka.

Di hadapan mereka, beberapa mangkuk mie instan mengepul. Aroma kuah kentalnya merayap ke udara malam, bercampur dengan tawa anak-anak yang menikmati setiap suapan. Si bungsu bahkan mengangkat mangkuknya, menyesap kuah terakhir dengan penuh kenikmatan.

Bagi mereka, mie instan bukan sekadar makanan cepat saji. Ia adalah kemewahan rasa dalam keseharian yang penuh kesederhanaan. Di desa, pilihan lauk terbatas pada tahu dan tempe. Ikan dan daging hanya bisa dinikmati di waktu-waktu tertentu. Maka, mie instan dengan aneka varian rasa menjadi jalan keluar dari kebosanan.

Rendang, soto, bakso, bahkan kepiting saus Padang. Semua tersaji dalam sebungkus mie instan. Dengan harga yang terjangkau, satu porsi mie membawa mereka ke pengalaman rasa yang mungkin jarang mereka cicipi.

Di kota, mie instan seringkali dianggap makanan darurat. Sesuatu yang dimakan ketika kehabisan pilihan atau sekadar ingin sesuatu yang praktis. Kampanye kesehatan sering mengingatkan bahayanya konsumsi berlebihan mie instan. Natrium tinggi, bahan pengawet, dan minim serat menjadi alasan utama. Namun, di desa, wacana ini hampir tak terdengar. Yang lebih penting adalah mengisi perut dengan sesuatu yang lezat dan terjangkau.

Sosiolog pangan, Claude Fischler (2011) dalam bukunya Food, Self, and Identity menyebutkan bahwa makanan bukan sekadar kebutuhan biologis, tetapi juga memiliki nilai sosial dan kultural. Dalam kasus mie instan, ada aspek kenikmatan yang dikaitkan dengan status sosial, terutama bagi mereka yang hidup dengan pilihan pangan terbatas.

Sebagian orang kota menganggap makanan sebagai simbol gaya hidup. Tren diet sehat, bahan-bahan organik, dan pola konsumsi rendah kalori menjadi topik utama. Sebaliknya, di desa, makanan lebih terkait dengan aksesibilitas dan daya beli. Semangkuk mie instan yang disajikan dengan telur sudah cukup menjadi santapan istimewa.

Fenomena ini juga diamini oleh penelitian dari Badan Pangan Dunia (FAO, 2021) yang menunjukkan bahwa konsumsi mie instan di negara berkembang meningkat signifikan dalam dua dekade terakhir. Di Indonesia, sebagai salah satu negara dengan konsumsi mie instan terbesar di dunia, faktor ekonomi masih menjadi pendorong utama.

Mie instan di desa bukan hanya soal mengisi perut. Ia menjadi hiburan rasa, pengalihan dari menu yang monoton. Sebuah kemewahan kecil yang terjangkau, yang dapat dinikmati bersama keluarga.

Sebagian orang mungkin menganggapnya makanan kelas dua, makanan yang tak sehat dan penuh bahan tambahan. Namun, bagi banyak keluarga di desa, semangkuk mie instan adalah pengalaman rasa yang membawa mereka lebih dekat dengan cita rasa dunia luar yang jarang mereka jangkau.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun