Facebook Pro menawarkan peluang bagi kreator digital, termasuk masyarakat desa, untuk mendapatkan penghasilan dari konten yang mereka bagikan. Dengan monetisasi, pengguna bisa meraih pendapatan antara Rp2 juta hingga Rp12 juta per bulan, tergantung pada jumlah pengikut dan tingkat interaksi. (qubisa.com, 26/11/2024)
Di desa, di mana peluang kerja masih terbatas, Facebook Pro menjadi opsi menarik bagi anak muda, ibu rumah tangga, bahkan perangkat desa. Mereka bisa berbagi cerita tentang kehidupan desa, keunikan budaya, hingga potensi wisata untuk menarik perhatian audiens luas.
Namun, di balik peluang ini, ada risiko besar yang mengintai, terutama terkait privasi keluarga dan komunitas desa. Demi meningkatkan interaksi, banyak pengguna cenderung membagikan informasi pribadi secara berlebihan, termasuk rutinitas harian dan lokasi rumah.
Fenomena ini dikenal sebagai sharenting, yaitu praktik orang tua membagikan foto, video, atau cerita tentang anak mereka di media sosial. Tanpa disadari, kebiasaan ini dapat membuka celah bagi pelanggaran privasi dan ancaman keamanan.
Di desa, di mana hubungan sosial masih erat, sharenting sering dianggap hal biasa. Namun, membagikan foto anak tanpa batas bisa berdampak buruk. Anak yang tumbuh dengan jejak digital yang luas mungkin merasa tidak nyaman di kemudian hari.
Selain itu, risiko keamanan meningkat. Informasi seperti lokasi sekolah, kebiasaan harian, atau tempat bermain anak dapat dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Desa yang sebelumnya aman bisa menjadi sasaran bagi pelaku kejahatan siber.
Bukan hanya anak-anak yang rentan, orang tua dan perangkat desa yang aktif di media sosial juga bisa menjadi target. Akun dengan banyak pengikut sering kali menarik perhatian peretas. Data pribadi, termasuk informasi keuangan, dapat dicuri dan disalahgunakan.
Selain risiko peretasan, tekanan sosial untuk terus berbagi juga bisa menjadi beban. Demi meningkatkan engagement, pengguna merasa perlu mengunggah konten secara rutin. Jika ekspektasi pengikut tidak terpenuhi, mereka bisa mengalami kecemasan atau stres.
Di desa, di mana sebagian besar masyarakat masih baru mengenal dunia digital, literasi keamanan siber menjadi tantangan tersendiri. Banyak orang belum memahami risiko berbagi informasi secara terbuka di internet.
Padahal, sekali informasi pribadi tersebar di internet, hampir mustahil untuk menghapusnya sepenuhnya. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat desa untuk bijak dalam berbagi, terutama terkait kehidupan pribadi dan komunitas mereka.