Pidato Gibran Rakabuming Raka saat mendampingi Prabowo Subianto mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi salah satu momentum politik yang mencuri perhatian publik, tak terkecuali di desa. Kalimat sederhana “Tenang saja Pak Prabowo, saya sudah ada di sini” bagi sebagian orang desa, menjadi simbol kepercayaan diri Gibran menempuh peran barunya sebagai bakal calon wakil presiden.
Dalam konteks ini, pidato tersebut tidak sekadar rangkaian kata, melainkan representasi perubahan lanskap politik yang turut membentuk persepsi masyarakat desa terhadap pasangan Prabowo-Gibran.
Namun, bagaimana hubungan antara popularitas Prabowo dan kepuasan publik dalam 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran? Dan, apakah kepuasan itu terdistribusi merata jika dilihat dari kacamata desa, di mana mayoritas penduduk Indonesia tinggal? Lebih jauh lagi, apakah pembagian popularitas antara Prabowo dan Gibran memberikan dampak yang signifikan terhadap masyarakat desa?
Dalam teori politik, popularitas sering kali menjadi modal awal bagi seorang pemimpin untuk membangun legitimasi, tetapi kepuasan publik adalah parameter yang lebih kompleks. Seperti yang dijelaskan Almond dan Verba dalam The Civic Culture (1963), kepuasan publik merupakan gabungan antara persepsi terhadap kebijakan yang dihasilkan pemerintah dan partisipasi politik masyarakat.
Oleh karena itu, popularitas yang tinggi di awal pemerintahan Prabowo-Gibran mungkin tidak secara otomatis berbanding lurus dengan kepuasan publik, terutama jika implementasi kebijakan tidak menjawab kebutuhan masyarakat desa.
Sebagai latar, popularitas Prabowo sudah mengakar kuat sejak pemilu-pemilu sebelumnya. Namun, nama Gibran membawa nuansa baru, terutama di kalangan generasi muda.
Popularitas ini bersifat komplementer, di mana Prabowo dikenal karena pengalaman panjangnya di kancah politik nasional, sedangkan Gibran mencitrakan pembaruan dan gaya kepemimpinan yang lebih muda. Di desa, kombinasi ini menciptakan harapan akan pemimpin yang tidak hanya tegas, tetapi juga adaptif terhadap perubahan zaman.
Harapan ini terlihat dalam program 100 hari pertama mereka, yang konon akan menitikberatkan pada pembangunan infrastruktur desa, optimalisasi dana desa, dan penguatan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Tetapi, di lapangan, realisasinya sering menghadapi tantangan yang tidak sejalan dengan ekspektasi masyarakat.
Sebagai contoh, laporan dari Desa Indonesia: Transformasi Sosial Ekonomi (2020) menyebutkan bahwa salah satu masalah terbesar di desa adalah kurangnya integrasi antara program nasional dan kebutuhan lokal. Jika Prabowo-Gibran hanya fokus pada pendekatan top-down, maka program-program mereka berisiko tidak membumi di desa.
Ketika kita berbicara tentang kepuasan publik, desa memiliki dinamika unik. Dalam konteks otonomi desa, masyarakat cenderung menilai pemerintah pusat berdasarkan dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari mereka.