Di siang yang mulai meredup, suasana Dusun Bentek terasa lengang. Matahari, yang sebentar lagi tenggelam, memancarkan sinarnya dengan lembut, membentuk bayangan panjang di atas jalan setapak.
Saya menghentikan kendaraan di depan sebuah mushola kecil di pinggir jalan. Mushola itu sederhana, tapi teduh—tempat yang pas untuk menunaikan sholat ashar sepulang dari kegiatan pendampingan.
Saat mengambil wudhu, terdengar samar suara percakapan dua orang di sudut mushola. Suara mereka saling bersahutan, pelan tapi jelas, membahas sesuatu yang terdengar serius. Percikan air mengiringi suara itu, seolah menjadi musik latar di keheningan sore.
Ketika menoleh, saya melihat dua pedagang es krim keliling sedang duduk bersila, masing-masing dengan gerobak kecil berisi es krim di sisi mereka. Mereka berbincang dengan nada yang serius tapi akrab.
Yang satu, mungkin usianya lebih tua, tampak seperti seorang “senior” dalam profesi mereka. Wajahnya teduh, dengan senyum yang hampir selalu mengembang. Ia tengah berbicara kepada temannya, yang sepertinya lebih muda. Sesekali si teman mengangguk, mendengarkan dengan saksama.
“Semua orang punya cerita,” ujar si pedagang yang lebih tua. “Perjalanan hidup itu rumit. Badai ujian datang bertubi-tubi. Kecewa kadang bikin kita berhenti, tapi lihat kita sekarang, toh semuanya bisa terlewati,” sambungnya dengan perlahan.
“Kuncinya ya, jalani saja. Semua sudah ada bagiannya. Sungguh Allah Maha Tahu segalanya.” Kalimat itu menggema di kepala saya, menjadi pengingat akan pentingnya berserah diri. Pesan sederhana, namun penuh makna, mengajarkan saya bahwa setiap perjalanan memiliki takdir yang telah tertulis.
Saya teringat pada buku Man’s Search for Meaning karya Viktor Frankl (2006), seorang psikoterapis yang bertahan dari Holocaust. Dalam bukunya, Frankl menegaskan bahwa hidup tidak selalu tentang apa yang kita dapatkan, melainkan bagaimana kita merespons apa yang terjadi.
Saat ujian menghantam, yang menentukan adalah bagaimana kita menyesuaikan diri dan terus berjalan. Pedagang es krim itu, tanpa gelar atau teori yang rumit, sedang menyampaikan hikmah yang sama, bahwa hidup adalah tentang bertahan dan menerima.
Perjalanan pedagang es krim seperti mereka bukanlah perjalanan mudah. Setiap hari, dengan gerobak kecil, mereka menyusuri jalanan desa hingga kota, menembus terik matahari, hujan deras, bahkan kerap kali hanya mendapat hasil yang pas-pasan.