Pagi itu mendung menggantung di langit, tetapi janji untuk mengunjungi sebuah desa demi memastikan persiapan perencanaan pembangunan tahun 2025 tak boleh diabaikan. Dengan langkah cepat, saya menuju kantor desa, tempat perangkat desa yang telah mengabdi selama dua dekade menyambut dengan ramah dan hangat.
Di ruang sederhana itu, pria paruh baya tersebut menceritakan pengalamannya. Dua puluh tahun bukan waktu singkat baginya menjaga jalannya pemerintahan desa. "Kami ingin memastikan rencana pembangunan tahun depan sejalan dengan regulasi yang berlaku," ujarnya, sembari mempersilakan duduk di sebuah kursi kayu tua.
Ia juga bercerita bagaimana pergantian kepemimpinan seringkali mengubah arah kebijakan desa, menciptakan ketidakpastian dalam program-program yang seharusnya berkelanjutan. Hal ini menggambarkan tantangan yang tidak hanya dihadapi perangkat desa tersebut, tetapi juga menjadi masalah struktural di banyak wilayah.
Perubahan paradigma pembangunan desa dalam beberapa dekade terakhir telah membuka peluang besar, sekaligus tantangan baru bagi desa-desa di seluruh Indonesia. Desa tematik, yang menonjolkan karakteristik unik setiap desa, menjadi pendekatan strategis yang semakin populer.
Konsep ini tidak hanya sekadar membangun infrastruktur atau memperbaiki layanan dasar, tetapi juga menggali potensi lokal guna menciptakan identitas desa yang kuat dan berbeda. Seperti yang ditegaskan oleh Menteri Desa, Yandri Susuanto dalam banyak kesempatan bahwa, desa tematik menjadi jawaban atas homogenitas desa yang seringkali membuat desa kesulitan bersaing secara ekonomi dan sosial.
Di era ini, perangkat desa tidak lagi hanya bertugas menjalankan administrasi atau melaporkan kegiatan. Peran mereka berubah menjadi fasilitator yang menghubungkan potensi desa dengan peluang eksternal. Mereka dituntut untuk memahami branding desa, merancang strategi pemasaran, dan bahkan menjalin kerja sama dengan sektor swasta maupun lembaga non-pemerintah.
Kisah sukses Desa Ponggok di Klaten, Jawa Tengah, memberikan inspirasi. Desa ini berhasil memanfaatkan sumber daya air lokal untuk menciptakan desa wisata yang menarik ribuan pengunjung. Melalui BUMDes Tirta Mandiri, Ponggok tidak hanya menciptakan lapangan kerja, tetapi juga meningkatkan pendapatan asli desa secara signifikan (Dewi & Kusuma, 2020).
Namun, di balik cerita sukses, ada tantangan besar yang harus dihadapi perangkat desa. Salah satu tantangan utama adalah keterbatasan kapasitas. Banyak perangkat desa yang belum siap menghadapi tuntutan baru di era desa tematik. Kurangnya pelatihan dan pendampingan sering kali membuat mereka kesulitan memanfaatkan peluang yang ada.
Dalam konteks ini, keberadaan regulasi seperti Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014 menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, regulasi ini memberikan keleluasaan bagi desa untuk mengelola sumber daya secara mandiri. Namun, tanpa kapasitas yang memadai, kebijakan ini justru bisa menjadi beban.
Teknologi informasi dan komunikasi menjadi dimensi lain yang harus dikuasai perangkat desa. Di era digital, desa tematik memiliki peluang besar mempromosikan identitasnya melalui media sosial, website, atau platform digital lainnya. Sayangnya, keterbatasan literasi digital masih menjadi kendala.