Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat Kopi

Saat ini mengabdi pada desa. Kopi satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tidak Semua yang Namanya Agus Meresahkan

15 Desember 2024   00:01 Diperbarui: 15 Desember 2024   05:12 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Patung Dresden Friedrich Agustus (Sumber: https://de.m.wikipedia.org) 

Beberapa waktu terakhir, nama Agus sering menjadi bahan candaan di media sosial. Banyak yang mengaitkannya dengan hal-hal negatif karena ada beberapa kasus viral yang melibatkan orang bernama Agus.

Nama tersebut perlahan menjadi simbol keresahan bagi sebagian orang, seolah-olah semua Agus memiliki reputasi yang sama.

Tidak semua orang bernama Agus pantas dicap seperti itu. Setidaknya ada tiga orang bernama Agus yang saya kenal secara pribadi, dan mereka adalah sosok-sosok luar biasa bagi saya. 

Agus yang pertama adalah teman semasa sekolah. Ia dikenal sebagai seseorang yang dermawan, yang selalu memastikan kebahagiaan orang-orang di sekitarnya. 

Ketika berkumpul, Agus ini sering kali berbagi, bahkan di saat ia sendiri tidak memiliki banyak. Baginya, memberi adalah kebahagiaan.

Agus lainnya adalah pendamping desa. Kedua Agus ini adalah pekerja keras yang tidak kenal lelah. Salah satu dari mereka menghabiskan waktunya mendampingi masyarakat desa, membantu perangkat dan kepala desa dalam menjalankan berbagai program pembangunan. 

Agus yang lain selain menjadi Pendamping Lokal Desa (PLD) ia bahkan aktif mengajarkan literasi kepada anak-anak di desa. Bagi keduanya, yang terpenting adalah menjadi bermanfaat bagi orang lain.

Sayangnya, kisah-kisah seperti ini sering kali luput dari perhatian. Orang-orang lebih sibuk menertawakan candaan tentang Agus yang viral di media sosial. Meme dan lelucon tentang Agus terus menyebar, sehingga banyak orang ikut-ikutan melecehkan nama tersebut tanpa memikirkan dampaknya.

Menariknya, berdasarkan data Google Trend, pencarian dengan kata "Agus" menempati urutan kedua di minggu ini setelah kata "hasto" pada kategori hukum dan pemerintahan. 

Data ini menunjukkan betapa besarnya perhatian masyarakat terhadap isu ini. Sayangnya, perhatian tersebut lebih banyak mengarah pada candaan atau guyonan, bukan pada apresiasi terhadap hal-hal positif yang dilakukan oleh orang-orang bernama Agus.

Candaan ini, meskipun terlihat ringan, sebenarnya dapat melukai perasaan banyak orang. Mereka yang benar-benar bernama Agus bisa saja merasa minder atau kehilangan kepercayaan diri akibat guyonan yang tidak sensitif. Tidak ada yang ingin nama mereka dijadikan bahan lelucon, apalagi dalam skala nasional.

Nama adalah bagian penting dari identitas seseorang. Nama membawa harapan dan doa dari orang tua yang memberikannya. Nama Agus, misalnya, berasal dari kata Latin Augustus, yang berarti mulia atau agung (Hanks and Flavia Hodges, 2003). Namun, makna ini sering kali terabaikan karena stigma yang semakin kuat akibat candaan di media sosial.

Nama tidak seharusnya menjadi penentu karakter seseorang. Menyamaratakan semua orang bernama Agus sebagai sesuatu yang negatif adalah bentuk ketidakadilan. 

Ada ribuan, bahkan jutaan orang bernama Agus di Indonesia, dan sebagian besar dari mereka adalah orang-orang baik yang menjalani hidup dengan jujur dan bekerja keras.

Budaya kita cenderung lebih fokus pada hal-hal buruk daripada kisah-kisah baik. Beberapa kasus viral yang melibatkan orang bernama Agus lebih diingat daripada kisah inspiratif tentang mereka. 

Media sosial juga memperkuat fenomena ini. Candaan dan meme menyebar dengan cepat, dan banyak yang ikut menyebarkannya tanpa berpikir panjang.

Perilaku ini perlu diubah. Sudah saatnya semua orang lebih bijak dalam memandang identitas seseorang. Sebagai bangsa yang dikenal ramah dan penuh toleransi, masyarakat Indonesia seharusnya mampu lebih menghormati nama dan identitas seseorang.

Kisah tiga Agus yang dikenal, misalnya, adalah bukti bahwa nama tidak mencerminkan kualitas seseorang. Agus pertama dikenal dermawan sejak muda, sementara dua Agus lainnya adalah pendamping desa yang bekerja keras tanpa pamrih. Ada banyak Agus lain di luar sana yang juga menjalani hidup dengan penuh dedikasi.

Berhenti memperkuat stigma negatif ini adalah langkah awal. Mulailah mengangkat kisah-kisah positif tentang orang-orang bernama Agus. Dengan begitu, nama Agus tidak lagi diasosiasikan dengan hal-hal buruk, melainkan menjadi simbol inspirasi dan dedikasi.

Nama Agus tidaklah meresahkan. Yang meresahkan justeru cara masyarakat memperlakukan nama itu. Ketika menghindari penghakiman terhadap seseorang hanya berdasarkan namanya, akan terlihat bahwa setiap orang memiliki potensi berbuat baik, apa pun nama mereka.

Yang jelas, tidak semua yang bernama Agus meresahkan. Justru, banyak dari mereka yang menjadi inspirasi dan memberikan manfaat bagi masyarakat. Semoga stigma ini segera berakhir, dan setiap nama dapat dihormati sebagaimana mestinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun