Bagi pendamping PKH, kebijakan ini menunjukkan adanya pengakuan atas peran mereka dalam implementasi kebijakan sosial. Pendamping Desa, di sisi lain, seakan belum mendapatkan perhatian yang setara, meskipun Dana Desa menjadi salah satu program prioritas pemerintah pusat.
Jika dibandingkan secara langsung, keberhasilan PKH tentu tidak terlepas dari dukungan administrasi dan kelembagaan yang kuat, termasuk jaminan status kepegawaian seperti yang kini diupayakan. Sebaliknya, Pendamping Desa harus menghadapi tantangan lebih berat, dari beban kerja hingga pengelolaan dana yang nilainya sangat besar.
Ketimpangan ini mengarah pada pertanyaan mendasar, bagaimana pemerintah memandang posisi strategis masing-masing profesi dalam struktur pembangunan nasional? Apakah Pendamping Desa dianggap kurang strategis dibandingkan Pendamping PKH, sehingga tidak mendapatkan prioritas serupa? Atau justru ini mencerminkan pendekatan parsial pemerintah dalam melihat pembangunan desa sebagai bagian integral dari pembangunan nasional?
Pendekatan pemerintah terhadap status profesi ini juga perlu dilihat dari aspek keberlanjutan. Salah satu kritik utama yang sering muncul terkait posisi Pendamping Desa adalah ketidakpastian status kerja mereka. Sistem kontrak yang terus diperbarui menciptakan ketidakpastian yang berpotensi memengaruhi kinerja mereka.
Padahal, stabilitas status kerja dapat meningkatkan motivasi, loyalitas, dan kualitas pendampingan yang diberikan kepada masyarakat desa. Jika Pendamping PKH yang bekerja di bawah satu program dapat diangkat menjadi PPPK, maka seharusnya Pendamping Desa yang bekerja dalam berbagai program pembangunan desa juga layak mendapatkan status serupa.
Selain itu, pengangkatan Pendamping Desa menjadi PPPK akan berdampak positif pada akuntabilitas pengelolaan Dana Desa. Dengan status sebagai PPPK, Pendamping Desa akan memiliki posisi yang lebih kuat dalam mendampingi pemerintah desa, sehingga lebih mampu mendorong transparansi dan akuntabilitas pengelolaan dana. Mereka juga dapat menjadi katalisator untuk mendorong inovasi pembangunan berbasis desa yang selaras dengan agenda nasional dan global seperti SDGs Desa.
Penting pula untuk mempertimbangkan dampak dari ketidaksetaraan ini terhadap hubungan kerja antara Pendamping PKH dan Pendamping Desa di tingkat lapangan. Kedua profesi ini sering kali berkolaborasi dalam pelaksanaan program pembangunan.
Jika salah satu profesi mendapatkan pengakuan yang lebih besar dalam bentuk status kepegawaian, hal ini dapat menciptakan kesenjangan yang memengaruhi kerja sama di lapangan. Pemerintah perlu memastikan bahwa pengakuan terhadap salah satu profesi tidak dilakukan dengan mengabaikan profesi lainnya yang sama pentingnya.
Dalam konteks Lombok Tengah, Kepala Dinas Sosial, Masnun, mengingatkan para pendamping PKH untuk tidak terjebak dalam janji-janji kelulusan yang tidak transparan. Peringatan ini penting mengingat seleksi PPPK harus dilakukan secara objektif dan berbasis merit.
Hal serupa juga perlu diterapkan jika kelak Pendamping Desa mendapat kesempatan serupa. Transparansi dan akuntabilitas dalam proses seleksi harus menjadi prinsip utama agar pengangkatan PPPK benar-benar merefleksikan kualitas dan kompetensi yang diperlukan.
Akhirnya, pengangkatan Pendamping PKH menjadi PPPK adalah langkah maju yang patut diapresiasi. Namun, langkah ini juga menjadi pemicu refleksi bagi pemerintah untuk melihat kembali posisi dan peran Pendamping Desa dalam struktur pembangunan nasional.