Mohon tunggu...
Beryn Imtihan
Beryn Imtihan Mohon Tunggu... Konsultan - Penikmat Kopi

Beryn, lahir di Pulau Seribu Masjid, saat ini mengabdi pada desa sebagai TPP BPSDM Kementerian Desa dengan posisi sebagai TAPM Kabupaten. Sebelumnya, ia aktif mengajar di beberapa perguruan tinggi. Beryn memiliki minat pada isu sosial, budaya, dan filsafat Islam. Saat kuliah, Beryn pernah mencoba berbagai aktivitas umumnya seperti berorganisasi, bermain musik, hingga mendaki gunung, meskipun begitu satu-satunya hal yang selalu menarik perhatiannya adalah menikmati secangkir kopi.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Kemendikbudristek Dipecah: Solusi atau Justifikasi Silo?

25 Oktober 2024   22:49 Diperbarui: 25 Oktober 2024   22:49 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Langkah Pemerintah di era Presiden Prabowo Subianto memecah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menjadi tiga kementerian terpisah patut mendapat perhatian serius. Tiga kementerian baru tersebut adalah Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti Saintek), serta Kementerian Kebudayaan. Namun, di balik pemecahan ini, muncul pertanyaan mendasar: Apakah ini merupakan solusi memajukan pendidikan dan kebudayaan di Indonesia, atau justru memperparah silo, yakni pemisahan informasi dan komunikasi antar kementerian yang dapat menghambat kemajuan?

Silo, dalam konteks ini, merujuk pada kondisi di mana departemen atau kementerian bekerja secara terpisah tanpa komunikasi yang efektif, sehingga potensi kolaborasi dan integrasi menjadi terhambat. Dengan memisahkan Kemendikbudristek, ada kekhawatiran bahwa kementerian baru ini akan menciptakan silo yang lebih dalam, di mana setiap kementerian fokus pada domain masing-masing tanpa melihat gambaran besar pendidikan dan kebudayaan Indonesia secara keseluruhan.

Salah satu aspek yang paling krusial dari pemecahan ini adalah dampaknya terhadap korupsi. Dengan tiga kementerian baru, potensi korupsi bisa saja meningkat. Ketidakjelasan batas tanggung jawab dan kurangnya transparansi dapat membuka celah bagi praktik koruptif. Ketika satu kementerian tidak memiliki pengawasan ketat dari yang lain, ini dapat memudahkan penyalahgunaan wewenang. Sejarah menunjukkan bahwa pemecahan kementerian tidak selalu berujung pada peningkatan akuntabilitas, malah bisa menjadi jalan bagi praktik-praktik tidak etis merajalela.

Dari sudut pandang kebijakan, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana nasib Kurikulum Merdeka. Apakah kurikulum yang dirancang untuk memberikan kebebasan kepada sekolah dalam mengatur pembelajaran ini akan tetap dilanjutkan? Meskipun kurikulum ini diharapkan mampu meningkatkan mutu pendidikan, kenyataannya masih perlu evaluasi yang mendalam. Jika ketiga kementerian baru ini tidak berkoordinasi dengan baik, Kurikulum Merdeka bisa saja terabaikan. Kurikulum ini memerlukan kesepakatan dan kolaborasi lintas kementerian agar tujuan-tujuan pendidikan dapat dicapai.

Urgensi pemecahan kementerian ini sering kali dijustifikasi dengan harapan adanya fokus yang lebih tajam. Namun, apakah pemecahan ini benar-benar menjawab tantangan yang ada? Mungkin, dengan memecah kementerian, setiap bidang dapat memiliki perhatian dan sumber daya lebih, namun hal ini juga berisiko menimbulkan tumpang tindih kebijakan dan program. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah mungkin akan fokus pada aspek akademik, sedangkan Kementerian Kebudayaan dapat lebih berorientasi pada pelestarian warisan budaya. Tanpa keselarasan, hal ini dapat menciptakan kebingungan dan ketidakpastian di lapangan.

Tentu saja, ada plus minus dari pembentukan tiga kementerian baru ini. Di satu sisi, masing-masing kementerian dapat merumuskan kebijakan yang lebih spesifik dan menyeluruh sesuai dengan kebutuhan dan tantangan di sektor masing-masing. Namun, di sisi lain, adanya tiga kementerian dapat memperparah fragmentasi dalam sistem pendidikan dan kebudayaan, di mana setiap kementerian beroperasi dalam dunianya sendiri tanpa berbagi informasi atau strategi.

Selanjutnya, peran Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan dalam mengawasi ketiga kementerian ini menjadi sangat vital. Dengan adanya 11 kementerian di bawah koordinasi ini, tantangan yang dihadapi menjadi semakin kompleks. Apakah Menteri Koordinator dapat menjembatani silo yang mungkin terjadi di antara kementerian-kementerian ini? Menciptakan sinergi dan kolaborasi yang efektif adalah kunci memastikan bahwa pendidikan dan kebudayaan dapat bergerak ke arah yang lebih baik.

Namun, jika menteri koordinator gagal dalam tugasnya, kita bisa melihat kemunduran dalam mutu pendidikan dan kebudayaan. Sumber daya yang ada tidak akan dimanfaatkan secara optimal. Dan yang lebih parah, praktik korupsi mungkin akan semakin merajalela. Jika tidak ada transparansi dan akuntabilitas, maka menteri dan pejabat di kementerian baru ini bisa saja memanfaatkan kelemahan sistem demi keuntungan pribadi.

Dalam konteks ini, urgensi meneruskan Kurikulum Merdeka sangat bergantung pada kemampuan ketiga kementerian baru dalam berkolaborasi. Jika mereka tidak dapat menciptakan dialog yang konstruktif, kurikulum ini akan mengalami kesulitan dalam penerapannya. Evaluasi berkelanjutan dari kurikulum sangat penting guna memastikan bahwa tujuan pendidikan tercapai dan bahwa kurikulum tersebut relevan dengan kebutuhan masyarakat. Keberhasilan Kurikulum Merdeka tidak hanya ditentukan oleh kementerian pendidikan, tetapi juga oleh kolaborasi dengan kementerian kebudayaan dan riset dan teknologi.

Mengakhiri perdebatan ini, penting disadari bahwa pemecahan Kemendikbudristek menjadi tiga kementerian bukanlah sekadar tindakan administratif, tetapi juga sebuah pertaruhan besar terhadap masa depan pendidikan dan kebudayaan Indonesia. Apakah langkah ini akan membawa kemajuan yang diharapkan, atau justru menciptakan silo yang lebih dalam di antara kementerian-kementerian baru? Hanya waktu yang dapat menjawab, tetapi satu hal yang pasti, kolaborasi dan transparansi adalah kunci menghindari jebakan korupsi dan memastikan bahwa pendidikan serta kebudayaan Indonesia maju dengan baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun