Arman mendengus pelan, suaranya terdengar getir. "Tapi saya lihat di sini... sepertinya kamu terlalu fokus pada satu hal. Padahal, banyak aspek lain yang perlu kamu perhatikan."
Hendra mengernyit bingung. "Apa maksud Bapak? Saya pikir saya sudah mencakup semua bidang yang dibutuhkan dalam laporan ini."
"Ya, tapi kamu sepertinya tidak terlalu memperhatikan bagaimana kamu berkomunikasi dengan pihak kecamatan," lanjut Arman sambil menatap Hendra dengan dingin. "Saya sudah mendengar kabar dari sana. Mereka bilang kamu kurang kooperatif, bahkan cenderung mau bergerak sendiri."
Hendra tertegun. Itu jelas kebohongan. Selama ini, dia selalu menjalin komunikasi dengan baik, baik dengan warga maupun aparat kecamatan. Namun, ia memilih tidak membantah langsung. "Saya akan lebih memperhatikan hal itu, Pak. Terima kasih atas masukannya."
Arman hanya tersenyum dingin. Ia merasa puas, seakan telah meletakkan satu jebakan kecil yang mulai bekerja. Ia tak ingin Hendra merasa nyaman, apalagi berkembang. Dalam bayangannya, jika Hendra dibiarkan terus bersinar, dia pasti akan segera dipromosikan menjadi PD dan merebut posisinya sebagai koordinator kecamatan, posisi yang Arman pertahankan mati-matian meski ia tahu betul dirinya tidak memiliki kemampuan yang cukup.
-----
Bulan demi bulan berlalu, Hendra semakin merasakan tekanan yang tak wajar dari Arman. Setiap kali ia mengusulkan ide-ide baru untuk pengembangan desa, Arman selalu menolak mentah-mentah dengan alasan yang dibuat-buat. Dalam setiap rapat evaluasi, Arman tak pernah memberikan apresiasi pada Hendra meskipun seluruh peserta tahu bahwa Hendra-lah yang paling banyak berkontribusi. Yang lebih menyakitkan lagi, Arman mulai menyebarkan rumor bahwa Hendra hanya ingin memanfaatkan posisinya untuk mendapatkan jabatan lebih tinggi, seakan Hendra adalah sosok ambisius yang siap menyingkirkan siapa saja demi naik pangkat.
Rumor itu mulai merambat ke kecamatan, bahkan ke kabupaten. Nama Hendra semakin dibicarakan, bukan karena prestasi, tetapi karena tuduhan ambisius yang dilekatkan padanya. Hendra berusaha tetap tenang, bekerja seperti biasa, melayani warga dengan hati. Namun, dia tak bisa menutupi luka yang mulai menganga dalam jiwanya. Setiap malam, dalam kesendiriannya, ia bertanya pada diri sendiri, mengapa kebaikan dan kerja keras sering kali dibalas dengan ketidakadilan?
Suatu hari, ketika Hendra sedang berada di kantor desa untuk mempersiapkan kegiatan pelatihan bagi para pemuda, tiba-tiba datang kabar yang mengejutkan. Kepala desa memberitahunya bahwa Arman mengajukan laporan evaluasi yang buruk terhadap kinerjanya. Dalam laporan itu, disebutkan bahwa Hendra tidak cukup kompeten melanjutkan tugas sebagai PLD, dan direkomendasikan diberhentikan atau direlokasi ke desa lain yang jauh dari tempat tinggalnya---desa terpencil yang membutuhkan perjalanan berjam-jam melewati hutan dan bukit.
"Ini tidak masuk akal," kata kepala desa sambil memandangi Hendra dengan prihatin. "Kami semua tahu kamu bekerja dengan baik. Bahkan kami berharap kamu bisa menjadi pendamping kecamatan, bukan malah dipindahkan ke desa lain."
Hendra menghela napas panjang. Ia merasa terpojok, tapi dalam hatinya, ia tahu bahwa ini adalah bagian dari rencana Arman untuk menyingkirkannya.