Jarak rumahnya hanya 25 menit dari Sirkuit Mandalika, namun bagi Aji, seorang penggemar balap motor dari Desa Kediri Lombok Barat, mimpi menyaksikan MotoGP secara langsung serasa jutaan menit, bahkan lebih jauh dari itu.
Di ujung bulan, uang yang ia kumpulkan dari kerja keras sebagai buruh pasar selalu habis buat kebutuhan hidupnya. Tidak ada ruang tersisa untuk tiket seharga Rp500 ribu. “Saya ingin sekali datang menonton langsung ke sana, tapi bagaimana? Harganya terlalu mahal,” ujarnya dengan suara pelan.
Setiap kali Aji mendengar deru mesin dari balapan yang digelar di sirkuit megah itu, hatinya terasa berdebar. Suara yang dulu hanya bisa ia dengar dari TV kini menggema dari tempat yang begitu dekat, namun tetap tak terjangkau.
Tahun ini, sirkuit Mandalika menjadi tuan rumah MotoGP, sebuah kebanggaan tersendiri bagi warga Lombok. Tapi, ironi itu begitu terasa—mereka yang tinggal di sekitar sirkuit justru tak bisa menyaksikan perhelatan yang ada di depan mata.
Simon Patterson, seorang jurnalis asing yang meliput acara ini, mencatat betapa kosongnya tribun utama yang mampu menampung 30.000 orang. “Hanya sekitar 500-an orang yang duduk di sana,” tulisnya di akun X-nya.
Di sisi lain, ribuan orang tumpah ruah di Kota Mataram, menyaksikan parade para pembalap. Antusiasme terlihat di wajah setiap orang, namun bagi banyak penduduk lokal, balapan ini terasa jauh dari jangkauan mereka. “Banyak penduduk lokal yang tergila-gila MotoGP, tapi tidak mampu membeli tiket,” tulis Simon.
Harga tiket yang tidak ramah bagi warga lokal menjadi tembok besar yang membatasi mereka. “Rumah saya hanya 25 menit dari sirkuit, tapi saya tetap tidak bisa menonton langsung. Hanya bisa nonton lewat TV,” ujar Aji dengan getir.
Baginya, MotoGP bukan sekadar tontonan. Balapan motor adalah gairah, mimpi, dan cinta yang diwariskan dari ayahnya yang dulu mengajak Aji kecil melihat balapan di televisi dengan penuh semangat. Tapi kini, kesempatan untuk menyaksikan langsung itu terasa lebih seperti ilusi, sesuatu yang hanya bisa ia bayangkan.
Kontras ini begitu nyata. Sebuah ajang internasional yang dibangun di tanah mereka, yang seharusnya menjadi kebanggaan, justru menciptakan jarak antara masyarakat lokal dan impian mereka. “Mestinya ada tribun khusus untuk kami, warga lokal, dengan harga tiket yang terjangkau,” ungkap Aji, berharap. Tribun seperti itu akan menjadi jembatan antara mereka dan dunia balap yang mereka cintai.
Namun, hingga saat ini, harapan itu masih sebatas angan. Sementara sorotan lampu sirkuit Mandalika terus menyala untuk penonton internasional, ribuan penggemar motor di Lombok hanya bisa duduk di rumah, menatap layar televisi.