Saling Menjaga dan Menguatkan
Pada malam-malam hening, ketika adzan subuh masih jauh, TGH. Musthafa Umar Abdul Aziz, pengasuh pesantren, sering kali berkeliling asrama. Dengan ketukan lembut di setiap pintu kamar, beliau membangunkan para santri untuk shalat tahajjud. "Kum walad, kum walad..." begitu panggilan lembutnya yang selalu menggema di telinga santri. Ucapan itu bukan hanya ajakan untuk bangun dan beribadah, tetapi juga pengingat bahwa mereka semua adalah "anak-anak" yang sedang meniti jalan menuju kedewasaan rohani bersama. Dalam momen-momen ini, kehadiran beliau menjadi simbol betapa pesantren adalah rumah kedua, dan setiap santri adalah bagian dari keluarga besar yang harus saling menjaga.
Sikap saling menjaga ini tidak hanya terlihat dalam keseharian mereka, tetapi juga dalam bagaimana mereka menghadapi tantangan bersama. Ketika ada santri yang sakit, tanpa diminta, teman-temannya akan menjaga, merawat, mengantarnya berobat maupun membawanya pulang . Saat seorang santri kesulitan dalam pelajaran, yang lain akan membantu dengan sabar. Semua dilakukan dengan tulus, tanpa pamrih.
Kearifan Lokal yang Membentuk Pribadi
Nilai-nilai persaudaraan ini tak lepas dari kearifan lokal yang diajarkan di pesantren. Dalam tradisi Islam yang berkembang di Lombok, khususnya di Pondok Pesantren Al-Aziziyah, kebersamaan adalah hal yang sangat dijunjung tinggi. Para santri diajarkan untuk selalu menghormati sesama, bersikap rendah hati, dan menjunjung tinggi rasa kasih sayang. Di sinilah nilai-nilai luhur Islam bertemu dengan budaya lokal yang mengedepankan gotong royong dan solidaritas.
Salah satu tradisi yang memperkuat ikatan ini adalah saling mengundang saat perayaan Maulid Nabi. Santri yang berasal dari berbagai desa di Lombok seringkali saling mengundang satu sama lain ketika acara Maulid dirayakan di desa mereka. Tradisi ini tidak hanya mempererat hubungan antar santri, tetapi juga memperkenalkan mereka pada budaya dan kebiasaan masing-masing. Rasa kebersamaan semakin terasa saat mereka merayakan momen berharga ini, mengundang teman-teman untuk merasakan atmosfer keagamaan yang kental di setiap desa.
Rindu yang Tak Pernah Usai
Bagi para alumni, kenangan di asrama "U" selalu membangkitkan rasa rindu yang mendalam. Suara ketukan pintu dan panggilan lembut dari  TGH. Musthafa Umar membangunkan mereka di malam hari, tawa riuh saat bermain bola di halaman, hingga momen-momen ketika mereka duduk bersama di halaman saat malam Jumat (malam libur) untuk sekadar saling bercerita, bercengkrama, dan ada juga yang bermain silat-silatan. Semua itu menjadi kenangan manis yang sulit dilupakan.
Seorang alumni lainnya, berbagi cerita. "Saya sering kali merindukan suasana di asrama 'U'. Bukan hanya karena kami tinggal di sana bertahun-tahun, tetapi karena rasa persaudaraan yang kami bangun. Ketika hidup terasa sulit, saya sering teringat bagaimana kami saling menguatkan di sana, walau hanya dengan sepotong empiq (kerak nasi). Rasanya seperti punya keluarga kedua."
Meskipun sekarang asrama tersebut telah mengalami perubahan fisik, nilai-nilai persaudaraan yang tertanam di dalamnya tetap hidup dalam sanubari setiap santri yang pernah tinggal di sana. Rindu di asrama "U" bukan hanya tentang rindu akan tempat tinggal, tetapi rindu akan kenangan-kenangan indah dan persahabatan tulus yang terjalin tanpa pamrih.
Asrama "U" mungkin hanyalah bangunan sederhana, tetapi bagi para santri, ia adalah rumah tempat mereka belajar arti kebersamaan, persaudaraan, dan kearifan lokal yang mengajarkan mereka untuk selalu saling menjaga. Dan di sinilah, dalam setiap jengkal ruang dan waktu yang pernah mereka habiskan bersama, rasa rindu itu akan selalu ada---rindu akan persaudaraan yang tak tergantikan oleh apa pun.