Di tengah kekayaan intelektual dan spiritual Islam, Kitab Al-Fawaid karya TGH. Musthofa Umar Abdul Aziz menempati tempat istimewa. Kitab ini bukan hanya sekadar kumpulan teks agama, melainkan manifestasi dari kedalaman ilmu yang bersumber dari perpaduan berbagai disiplin ilmu Islam seperti fiqih, tasawuf, sejarah, dan ulumul Qur'an.Â
Meskipun terdapat perdebatan tentang keaslian kitab ini sebagai karya pribadi TGH. Musthofa Umar, para murid beliau, seperti TGH. Fathul Aziz dan TGH. Fawaz, meyakini bahwa kitab ini adalah bagian dari warisan beliau. Keberadaan nasihat bijak pada penutup kitab juga menguatkan karakteristik keilmuan dan spiritualitas beliau yang khas.
Dalam filsafat Islam, pencarian akan hikmah merupakan inti dari perjalanan spiritual dan intelektual seorang Muslim. Kitab Al-Fawaid menjadi contoh nyata dari penyelaman mendalam terhadap hikmah, yakni kebijaksanaan yang menuntun seseorang untuk mengenal Tuhannya dan menunaikan hak-hak dalam kehidupan. Pesan yang tercantum dalam penutup kitab ini mencerminkan orientasi hidup yang selaras dengan prinsip-prinsip filsafat Islam, di mana kebahagiaan hakiki hanya dapat dicapai melalui kesadaran penuh akan hubungan antara Tuhan, diri sendiri, dan sesama.
Kekayaan Ilmu dalam Satu Kitab
Kitab Al-Fawaid hadir dengan berbagai dimensi keilmuan. Tidak hanya membahas hukum Islam (fiqih), tetapi juga mengupas tentang tasawuf, yang dalam filsafat Islam berfokus pada penyucian diri (tazkiyah al-nafs), pemurnian hati, dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Kitab ini membawa pembacanya pada pemahaman yang lebih mendalam mengenai hubungan transendental dengan Sang Pencipta, yang tidak hanya terbatas pada pelaksanaan ibadah, tetapi juga kesadaran spiritual dalam setiap tindakan.
Dalam filsafat Islam, khususnya dalam pemikiran etika, integritas moral seseorang sangat penting. Sebagaimana disampaikan oleh TGH. Musthofa Umar dalam kitab ini, bahwa manusia harus terus beribadah dan menjaga ketaqwaan di tengah godaan duniawi. Konsep ikhlas yang ia ajarkan---bahwa segala ibadah harus dilakukan tanpa mengharapkan imbalan duniawi---sejalan dengan konsep 'amal' dalam etika filsafat Islam. Amal yang dilandasi oleh keikhlasan merupakan bentuk manifestasi cinta kepada Tuhan dan menjadi refleksi dari akhlak karimah (akhlak mulia).
Sikap Tawadhu' dan Kearifan Lokal
Sikap tawadhu' atau kerendahan hati yang dipancarkan oleh TGH. Musthofa Umar dalam Kitab Al-Fawaid mencerminkan kebesaran spiritualnya. Ia menuliskan bahwa kitab ini disusun atas permintaan temannya, dan ia dengan rendah hati mengakui kekurangan ilmunya serta meminta maaf atas segala kekurangan dalam penulisan. Dalam tradisi filsafat Islam, al-hikmah atau kebijaksanaan dianggap sebagai pencarian yang tiada henti. Seorang ulama atau cendekiawan yang tawadhu' tidak pernah merasa cukup dengan ilmunya, tetapi terus mencari hikmah yang lebih dalam dan terbuka terhadap kritik dan masukan.
Konsep tawadhu' ini memiliki paralel dalam pemikiran Sufi yang menekankan kehancuran ego sebagai jalan menuju kedekatan dengan Tuhan. Dalam filsafat Ibn Arabi, tawadhu' adalah sikap yang memungkinkan seseorang untuk mencapai maqam (derajat) spiritual yang lebih tinggi. Kitab Al-Fawaid mengajarkan bahwa sikap rendah hati dan kebesaran jiwa adalah elemen kunci dalam perjalanan spiritual seorang Muslim, mencerminkan nilai-nilai yang sangat dihargai dalam tasawuf.
Kitab yang Membuka Ruang bagi Generasi Berikut
Menariknya, TGH. Musthofa Umar menyebut bahwa Al-Fawaid adalah naskah juz pertama, dengan harapan ada juz kedua yang akan menyusul. Meski hingga kini belum ditemukan, kitab ini telah meninggalkan kontribusi besar bagi pendidikan Islam, khususnya bagi santri-santri yang sering mendengarkan kajian kitab ini secara langsung dari beliau semasa hidupnya. Kitab ini menjadi medium bagi generasi selanjutnya untuk terus belajar dan memperdalam ilmu agama, serta menyelami kearifan lokal yang kaya akan nuansa spiritualitas Islam.
Dalam filsafat Islam, ada gagasan tentang tradisi keilmuan yang berkelanjutan. Para ulama berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan generasi yang datang setelah mereka dengan hikmah dan ajaran-ajaran yang lebih luas. Kitab Al-Fawaid menjadi warisan yang hidup, mengajak generasi muda untuk terus menyerap ilmu dan hikmah, memperkaya pemahaman mereka tentang agama, serta merenungi hubungan mereka dengan Allah dan sesama.
Pentingnya Hikmah dalam Filsafat Islam
Hikmah atau kebijaksanaan selalu menjadi pusat perhatian dalam filsafat Islam. Al-Fawaid menyuguhkan berbagai wawasan yang tidak hanya bersifat intelektual, tetapi juga spiritual. Dengan dalil-dalil dari al-Qur'an dan al-Hadist serta pendapat para ulama klasik, kitab ini menuntun pembaca untuk menemukan kebijaksanaan yang relevan dalam kehidupan sehari-hari.
Filsuf Islam seperti Al-Ghazali dan Ibn Sina menekankan bahwa kebijaksanaan sejati datang dari pemahaman yang mendalam tentang Tuhan dan bagaimana menjalani kehidupan dengan penuh etika dan kesadaran spiritual. Dalam Kitab Al-Fawaid, ajaran ini terwujud dalam bentuk doa, nasihat, dan pemikiran mendalam tentang hubungan manusia dengan Allah serta sesama manusia.
Kitab Al-Fawaid adalah warisan intelektual yang kaya, menggambarkan sintesis antara pengetahuan agama dan kehidupan praktis. Di dalamnya, tersimpan paduan kebijaksanaan yang mencakup aspek teologis, etika, dan spiritual, yang semuanya berakar pada pemikiran filsafat Islam tentang pentingnya manusia mengenal Tuhan dan menjalankan kehidupan dengan penuh hikmah. Ini bukan hanya sekadar teks agama, melainkan panduan hidup yang berakar pada tradisi hikmah Islam, yang akan terus menginspirasi generasi mendatang untuk mencari pencerahan di jalan Allah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H