Federasi Masyarakat Perunggasan Indonesia (FMPI) mencatat, rata-rata konsumsi daging masyarakat Indonesia mencapai 15 kg/kapita/tahun dari total produksi atau tersedia 3,75 juta ton. Di luar ikan, ayam broiler adalah pendukung utama pemenuhan kebutuhan daging tersebut, yaitu 9 kg/kapita/tahun dari tersedia 2,25 juta ton. Populasi penduduk Indonesia yang bertambah tentu saja meningkat secara signifikan kebutuhan protein hewani.
“Unggas sekarang menjadi dominan sebagai makanan masyarakat,” ujar Ketua Umum FMPI Don P Utoyo di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (26/11/2013), yang bersama pengurus lainnya (Fitri Poernomo, Krissantono, dan Suparman Sastrodimedjo) menjadi narasumber dalam rapat dengar pendapat Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD), untuk membahas Rancangan Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan (RUU PKH).
“Kita sudah 100% swasembada unggas, baik daging maupun telur, meskipun jarang digembar-gemborkan.” Tapi, bulan-bulan terakhir ini saya selalu mendapat keluhan harga daging ayam hidup yang dijual peternak terlalu murah, karena ‘overstock’. Overstock bukan karena lebih, tapi permintaan menurun, apalagi sekarang ini bulan Syuro, Muharram, orang-orang kita jarang berpesta. Karena harga terlalu murah, peternak pun rugi, dan peternak memang sering rugi.”
“Sekarang industri ayam olahan cepat tumbuh. Apalagi, ibu-ibu yang masih muda sudah tidak terbiasa mengulek bumbu di rumah. Jadi, mereka beli ayam yang sudah dibumbui, di rumah tinggal dipanaskan atau digoreng. Ada yang sudah siap saji atau setengah olah. Produksi industri ayam olahan kita sudah mengarah ke sana, begitu praktisnya .”
Perkembangan konsumsi protein hewani tersebut, menurutnya, menggembirakan karena peran pangan hewani dalam membentuk generasi penerus bangsa. “Kita tidak ingin terjadi lost generation,” sambungnya. “Otak yang kurang asupan protein hewani menjadi agak kosong; otak yang cukup asupan protein hewani menjadi agak penuh, mereka cerdas dan produktif.”
Ia menjelaskan, konsumsi protein hewani yang rendah akan sangat mempengaruhi ketahanan tubuh (terhadap penyakit), kemampuan otak (kecerdasan), kerja otot yang banyak (kerja otak yang kurang), kebugaran fisik (aktivitas yang lama). Permasalahannya, kualitas sumberdaya manusia rata-rata rendah, karena disiplin dan etos kerja yang rendah, dan produktivitas yang rendah. “Ironisnya, konsumsi tinggi untuk rokok, pulsa, dan sepeda motor.”
“Pelajar sering tawuran juga karena kurang protein hewaninya,” ujarnya. Merujuk hasil percobaan Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Kesehatan (Kemkes) terhadap tikus yang mendapat perlakuan berbeda, ternyata tikus yang tidak diberi makanan yang berprotein hewani menjadi sangat emosional dan sering bertarung.
Ia menyoroti konsumsi pangan sebagian besar masyarakat banyak untuk membebaskan rasa lapar, sedikit untuk kebugaran tubuh dan ketahanan aktivitas, serta sangat sedikit untuk kesehatan dan kecerdasan. “Orang Indonesia sekarang masih lebih banyak kenyang saja, makan karbohidrat. Mereka kurang protein hewani dari daging, telur, susu, bahkan ikan.”
FMPI mencatat, dari rata-rata konsumsi daging masyarakat Indonesia itu, ayam broiler memenuhi kebutuhan daging 9 kg/kapita/tahun (produksi atau tersedia 2,25 juta ton), disusul sapi dan kerbau 2,2 kg/kapita/tahun (tersedia 550 ribu ton), ayam bibit dan layer aktif 1 kg/kapita/tahun (tersedia 250 ribu ton), ayam buras (lokal) 1 kg/kapita/tahun (tersedia 250 ribu ton), babi 1 kg/kapita/tahun (tersedia 250 ribu ton), kambing dan domba 0,5 kg/kapita/tahun (tersedia 125 ribu ton), dan itik 0,2 kg/kapita/tahun (tersedia 50 ribu ton), dan lainnya 0,1 kg/kapita/tahun (tersedia 25 ribu ton).
Menurutnya, konsumsi protein hewani tersebut masih sangat rendah. Jika populasi penduduk Indonesia berkisar 250 juta jiwa tentu saja kebutuhan protein hewani meningkatkan signifikan. “Kita sudah sangat swasembada tapi produksi atau tersedia 2,25 juta ton. Kalau dibagi jumlah penduduk, kita sudah makan 9 kg/kapita/tahun,” ucapnya.
Sebagai perbandingan konsumsi protein hewani ayam broiler di ASEAN, orang Indonesia makan satu ekor ayam broiler setiap bulan, sedangkan orang Malaysia makan empat ayam broiler setiap bulan. “Mereka sudah makan empat kali, kita baru makan sekali,” tukasnya. Untuk perbandingan konsumsi daging broiler antara DKI Jakarta dan daerah pelosok, penduduk di DKI Jakarta makan tiga ekor ayam broiler setiap bulan, sedangkan penduduk di daerah pelosok makan tiga ekor ayam broiler setiap tahun.
Jika membandingkan konsumsi ayam tahun 2012 di antara negara-negara Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara atau Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), posisi Indonesia (7 kg/kapita/tahun) kalah dari Malaysia (36 kg/kapita/tahun), Singapura (28 kg/kapita/tahun), Thailand (16 kg/kapita/tahun), Filipina (8 kg/kapita/tahun). Indonesia hanya menang dari Myanmar (4 kg/kapita/tahun), Vietnam (3 kg/kapita/tahun), dan Kamboja (2 kg/kapita/tahun).
Sedangkan konsumsi telur tahun 2012, posisi Indonesia (87 butir/kapita/tahun) juga kalah dari Malaysia (311 butir/kapita/tahun), dan Thailand (93 butir/kapita/tahun). Indonesia hanya menang dari Singapura (64 butir/kapita/tahun), Vietnam (41 butir/kapita/tahun), dan Kamboja (16 butir/kapita/tahun).
Bulan September 2012, FMPI mendata perbandingan harga per gram protein dan kandungan proteinnya, bahwa telur Rp 17.500,- dan 12,5 persen (harga per gram Rp 140,-); ayam broiler Rp 33.000,- dan 18,5% (harga per gram Rp 180,-); tempe Rp 20.000,- dan 11,0% (harga per gram Rp 180,-); tahu Rp 15.000,- dan 7,5% (harga per gram Rp 200,-); susu segar Rp 10.000,- dan 3,5% (harga per gram Rp 300,-); ayam lokal Rp 60.000,- dan 17,5% (harga per gram Rp 340,-); dan daging sapi Rp 120.000,- dan 20,0% (harga per gram Rp 600,-). Sedangkan ikan tawar Rp 22.500,- dan 15,0% (harga per gram Rp 150,-); dan ikan laut Rp 30.000,- dan 17,5% (harga per gram Rp 260,-).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H