Mohon tunggu...
Ikhwan Mansyur Situmeang
Ikhwan Mansyur Situmeang Mohon Tunggu... -

Staf Pusat Data dan Informasi Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Todung Mulya Lubis: “Yang Membahayakan Kita adalah State Capture Corruption”

23 April 2012   01:53 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:16 601
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepak terjang Todung Mulya Lubis tidak asing lagi di jagat hukum dan demokrasi. Ia aktivis-intelektual yang cerdas dan kredibel. Bagi Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Bang Todung---begitu panggilan akrabnya---adalah koordinator tim kuasa hukum anggota DPD yang berpolemik di Mahkamah Konstitusi (MK).

Terakhir, ia koordinator tim kuasa hukum judicial review materi ayat, pasal, dan/atau bagian Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD) yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) serta merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional anggota DPD sebagai pemohon.

Todung menghabiskan masa kecil dan remajanya di Sumatera. Setamat sekolah dasar di Jambi, ia melanjut ke sekolah menengah pertama di Pekanbaru, Riau, kemudian sekolah menengah atas di Medan, Sumatera Utara.

Ia hijrah ke Jakarta. Kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI). Semasa kuliah, Todung “turun ke jalan” menentang kekuasaan Soeharto, penguasa masa itu. Lulus tahun 1974, Todung magang di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Jabatan terakhirnya adalah Direktur Bidang Nonlitigasi.

Todong merasa berhutang budi pada LBH Jakarta, yang disebutnya almamater kedua. Di sini, kepekaan nurani terasah: terbukalah mata dan telinganya. Misalnya, Todung memprotes pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang menggusur warga dan menyerobot tanahnya.

Karena sikapnya, pria kelahiran Muara Botung, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, 4 Juli 1949, ini dicekal dan dilarang mengajar oleh pemerintahan Soeharto. Di era Orde Baru, Todung terlampau keras! Ia membela tahanan politik dari kalangan sipil maupun militer, termasuk Letnan Jenderal TNI (purnawirawan) Hartono Rekso Dharsono, mantan Panglima Komando Daerah Militer III/Siliwangi yang dituduh terlibat peledakan Bank BCA di Glodok, Jakarta, sebagai buntut kasus Tanjung Priok tahun 1994. Ia juga membela Marsinah, buruh pabrik arloji PT Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, yang diculik dan dimatikan rezim militeristik.

Jalan yang ditempuh tidak mudah, tetapi nasib baik menyertainya. Gerakan mahasiswa yang menuntut perbaikan karena ketimpangan sosial yang parah mencapai puncaknya tanggal 15 Januari 1974. Puluhan aktivis ditangkap dan dihukum waktu itu, tapi keajaiban menyelamatkannya. Sepanjang bulan Desember 1973 sampai tanggal 14 Januari 1974, Todung mengikuti ”Asia Pacific Student Leaders Program” untuk mengenal Amerika Serikat yang diselenggarakan Departemen Luar Negeri negara itu. Ia kembali ke Indonesia saat gerakan mahasiswa memuncak di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta.

Berkat bantuan Duta Besar Amerika Serikat, ia melanjut ke Law School, Universitas California at Los Angeles (UCLA), Amerika Serikat, dan Harvard Law School, Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat.

Selama 18 tahun di LBH Jakarta, ia merasa telah membayar hutang sosialnya. Hokinya sebagai profesional juga membawa keberuntungan. Tahun 1991, ia mendirikan The Law Office of Mulya Lubis and Partners yang kini dikenal sebagai Lubis Santosa Maulana - Law Offices. Ia tak menyukai pertanyaan menyangkut penghasilannya. Tapi, diperkirakan Todung menerima legal fee antara US$ 375 dan US$ 550 per jam. Tak semua kasus membuat koceknya menggelembung. Menjadi mesin uang bukan pilihannya.

Makanya, dunia aktivis tidak seluruhnya dilupakan. Walau sekarang mempunyai kantor kepengacaraan disertai 30 lawyer, Todung tetap pendiri dan pengurus berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM). Semua dilakukannya karena tidak bisa melepaskan diri dari masalah kemanusian.

Ada sesuatu yang ingin diraihnya. Integritas. Yang dirambah sejak ia mengenal tulis-menulis, dan malahan menjadi wartawan “Indonesia Raya” dan “Sinar Harapan.” Katakanlah kasus pers dan politik. Todung bukan tipe advokat “hitam” yang disindir publik melalui plesetan “Maju Tak Gentar Membela Yang Bayar!”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun