Mohon tunggu...
Ikhwan Mansyur Situmeang
Ikhwan Mansyur Situmeang Mohon Tunggu... -

Staf Pusat Data dan Informasi Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

RUU Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan Mulai Dibahas

19 Juni 2014   23:52 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:04 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
-Ilustrasi, Gamawan Fauzi (KOMPAS.com)

[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="-Ilustrasi, Mendagri Gamawan Fauzi (KOMPAS.com)"][/caption]

Pemerintah sepakat dengan semangat untuk mempercepat pembangunan di daerah provinsi berciri kepulauan. Namun, pengaturannya dengan undang-undang tersendiri berpotensi over lapping dengan peraturan perundang-undangan. Upaya percepatan pembangunan daerah provinsi berciri kepulauan telah dimuat dalam berbagai undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya yang bersinergis.

Apabila Rancangan Undang-Undang Percepatan Pembangunan Daerah Kepulauan (RUU PPDK) disahkan menjadi undang-undang ternyata tidak efektif dan efisien diimplementasikan maka akan menimbulkan masalah hukum yang memicu konflik antarsusunan pemerintahan dan antardaerah, serta akan menimbulkan gangguan hubungan Indonesia dengan negara tetangga. Oleh karena itu, Pemerintah mengusulkan pengintegrasian RUU PPDK ke dalam RUU Pemerintahan Daerah yang tengah dibahas DPR, DPD, dan Pemerintah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Pemerintah juga mewanti-wanti agar RUU PPDK tidak mematok persentase alokasi dana guna mempercepat pembangunan beberapa daerah provinsi berciri kepulauan yang geografisnya memiliki karakteristik khusus, sehingga memerlukan alokasi yang khusus pula. Praktik pemerintahan sekarang ini tersendat-sendat karena terkunci oleh ketentuan berbagai undang-undang yang mengkavling anggaran belanja negara.

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi, Rabu (5/3/2014), mengutarakannya dalam Rapat Kerja (Raker) Panitia Khusus (Pansus) RUU PPDK Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Timja RUU Pemerintahan Daerah Komite I DPD dan Direktorat Jenderal Otonomi Daerah (Ditjen Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) juga menghadirinya. Wakil Ketua Pansus PPDK Alexander Litay membuka raker yang mengagendakan pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU PPDK versi Pemerintah.

Merujuk peraturan perundang-undangan serta data dan informasi penyelenggaraan pemerintahan, termasuk pengalaman berpemerintahan, Gamawan mengharapkan seluruh pasal, ayat, dan bagian RUU PPDK diintegrasikan ke dalam RUU Pemerintahan Daerah yang pembahasannya mempraktikkan model tripartit yang melibatkan DPR, DPD, dan Pemerintah. Sebenarnya pasal, ayat, dan bagian RUU PPDK itu salah satu batang tubuh RUU Pemerintahan Daerah.

Dalam RUU Pemerintahan Daerah, klausul daerah provinsi berciri kepulauan menyangkut pengertian urusan pengelolaan sumberdaya laut merupakan penugasan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, pemerintah pusat menentukan norma, standar, dan kriteria daerah provinsi berciri kepulauan. Klausulnya diatur dengan peraturan pemerintah (PP). Panja RUU Pemerintahan Daerah Komisi II DPR sepakat mendropnya dan mengganti dengan klausul khusus daerah berciri kepulauan diatur dengan undang-undang. DPR menjadikannya sebagai usul inisiatif yang pembahasannya terpisah.

Sebelumnya, Rabu (23/10), Raker Pansus yang dipimpin ketuanya, Abdul Gafar Patappe, dengan Komite I DPD serta Mendagri dan perwakilan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham), Menteri Luar Negeri (Menlu), dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), tegas-tegas menolak pengintegrasian itu. Alasannya, pengintegrasian justru menyebabkan semangat mempercepat pembangunan daerah kepulauan akan kehilangan ruh.

Bagi DPR dan DPD, UU PPDK sebagai perlakuan khusus untuk daerah provinsi berciri kepulauan merupakan terobosan sesuai dengan prinsip keadilan dan pemerataan mengingat masyarakat di daerah kepulauan masih tertinggal dan terbelakang serta wilayah Indonesia yang terdiri atas pulau-pulau, baik pulau besar maupun pulau kecil. Jika RUU PPDK disahkan menjadi UU maka statusnya adalah “lex specialis derogat legi generalis”, sehingga berbagai peraturan perundang-undangan yang ada atau akan ada yang menyinggung daerah kepulauan, harus merujuk kepada UU PPDK. UU tersebut akan menjadi dasar penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pelayanan masyarakat.

Terutama bagi DPD, tanggal 14 Desember 2012 yang lalu, Sidang Paripurna DPD telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Wilayah Kepulauan yang paradigmanya tidak membedakan wilayah berkarakteristik terestrial (daratan lebih luas ketimbang lautan) dengan wilayah berkarakteristik aquatik (lautan lebih luas ketimbang daratan). Tapi, RUU ini mengakomodasi berbagai masalah daerah kepulauan dalam mengelola sumberdaya kelautan, perikanan, dan sumberdaya alam lainnya. Bagi Pemerintah, upaya percepatan pembangunan daerah provinsi berciri kepulauan dapat diupayakan optimal tanpa menimbulkan masalah. Dengan kalimat lain, percepatan pembangunan daerah provinsi berciri kepulauan tidak perlu diatur dengan undang-undang telah tersendiri. Apalagi, beberapa undang-undangan beserta peraturan pelaksanaannya telah bersinergi, seperti Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Nasional, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, serta Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Gamawan menyatakan, “Adalah kewajiban Pemerintah untuk mengingatkan menurut pandangan dan pendapat Pemerintah. Ini akan menjadi dokumen penting nantinya dalam sejarah Indonesia. Pemerintah memiliki data dan informasi mengenai penyelenggaraan pemerintahan, mengalami kesulitan berpemerintahan.”

“Apabila di kemudian hari rancangan undang-undang ini disahkan menjadi undang-undang, tapi ditemukan keruwetan berpemerintahan, maka Pemerintah akan menyatakan bahwa kami telah mengingatkan kemungkinan seperti ini. Bagi saya pribadi, tidak ada niat apapun. Saya akan meninggalkan kabinet. Kasihan kabinet nanti, mereka akan menghadapi persoalan berpemerintahan seperti ini.”

Alokasi anggaran belanja

Beberapa kesulitan atau keruwetan berpemerintahan itu juga menyangkut alokasi anggaran belanja negara yang pengaturannya dengan undang-undang tersendiri, Gamawan mengurutnya sebagai berikut.

Dalam revisi Undang-Undang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua (Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001), intinya orang Papua meminta 80-90% hasil pengelolaan sumberdaya alamnya untuk Papua. Akibatnya, nasional akan mengalami kekurangan pendapatan.

Orang Aceh pun meminta serupa dalam revisi Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh. Mereka meminta hasil pengelolaan sumberdaya alamnya, khususnya minyak di lepas pantai 12-200 mil zona ekonomi eksklusif (ZEE). “Pembahasannya hampir deadlock, sudah berulang-ulang kali,” jelas Gamawan.

Pengkavlingan anggaran belanja negara terjadi barusan setelah Sidang Paripurna DPR mengetok Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang mengalokasikan 10% dana transfer dari pusat ke daerah atau sekitar Rp 6 triliun untuk desa.

Pemerintah khawatir kejadian serupa terjadi dalam RUU PPDK. “Bukan Pemerintah tidak memperhatikan daerah kepulauan. Marilah kita susun peraturan yang ideal. Pemerintah sepakat untuk memajukan daerah kepulauan, tapi pembahasannya harus holistik dan integral. Inilah yang kami minta. Kasihan kabinet mendatang, hanya dapat beban anggaran belanja. Kabinet mendatang akan menghadapi persoalan besar,” ia mengingatkan.

Kebijakan yang memperhatikan daerah kepulauan dimulai setelah Pemerintah ingin mengubah formula dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) atau membedakan variablenya untuk daratan dan lautan. “Justru kami berpendapat, variabelDAU dan DAK harus diubah, supaya ada keadilan. Saya tahu data dan informasi untuk Aceh, Papua, dan daerah lain. Bagaimana Nusa Tenggara Timur, bagaimana Maluku. Bukan persoalan suka tidak suka daerah kepulauan, tidak sama sekali. Tapi cara penyelesaiannya harus terasa adil. Ada porsi yang besar untuk daerah kepulauan, karena ongkos transport di laut bisa lima kali lipat ongkos transport di darat. Kalau itu solusinya, tentulah mengubah DAU dan DAK.”

Ia mengilustrasikan, jika ditotal persentase dana dalam perundang-undangan yang mengatur alokasi anggaran belanja, maka dana transfer sekitar 32%, pendidikan 20%, kesehatan 5%, subsidi 20%, utang luar negeri 10%, dan desa 30% maka jumlahnya 90% anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). “Jadi, saya menghitung sudah 90%.” Oleh karena itu, Gamawan mengingatkan agar peraturan perundang-undangan menghindari pengkavlingan anggaran belanja. “Kalau alokasinya hanya bersisa 10% APBN, berapa persen dana belanja modal dan infrastruktur?” ujarnya.

Dia mencontohkan keruwetan berpemerintahan untuk kasus Hambit Bintih yang memenangi pemilihan kepala daerah (pemilukada) Kabupaten Gunung Mas (Kalimantan Tengah) tapi terjerat tindak pidana korupsi bersama mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) M Akil Mochtar. Dia gagal dilantik setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak mengizinkannya keluar penjara. “Bagaimana orang bisa dinonaktifkan kalau aktif saja tidak pernah? Saya sampai minta izin satu jam saja untuk dilantik, tapi Pemerintah dikeroyok. Kami disebut tidak punya perhatian terhadap pemberantasan korupsi, tidak punya sensitivitas. Itu kan ranah lain, ini ranah penyelenggaraan pemerintahan.

Ilustrasi lain ialah kasus Bupati dan Wakil Bupati Sumba Barat Daya periode 2013-2018 yang ketika hari ini Mendagri hendak menandatangani surat keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) daerah setempat, namun dia tak kunjung menerima berkasnya. Jika KPU Sumba Barat Daya enggan menyerahkannya, Bupati tidak menandatangi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumba Barat Daya tidak meneruskannya, dan Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) pun tidak meneruskannya, Pemerintah harus melakukan apa? Pemerintah pernah mengalaminya di provinsi tertentu, tapi justru Pemerintah digugat dan Mahkamah Agung (MA) mengalahkan Pemerintah karena dianggap tidak memenuhi prosedur.

Litay menegaskan, kendati waktu pembahasannya merupakan hari-hari tersulit, dia menegaskan, pihaknya tetap melanjutkan pembahasan RUU PPDK. “Kita manfaatkan waktu ini untuk membuat keputusan penting.” Pansus menyatakan siap melanjutan pembahasan dalam pembicaraan tingkat I.

Memperhatikan perkembangan pembahasan RUU Pemerintahan Daerah dalam Panitia Kerja (Panja) RUU Pemerintahan Daerah Komisi II DPR, substansi daerah berciri kepulauan diatur dengan undang-undang tersendiri. Pimpinan Pansus RUU PPDK mengusulkan agar pembahasan DIM di Panja Pansus saja. “Rapat Panja kita setelah pemilu legislatif, rapat Panja RUU Pemerintahan Daerah juga pending.”

Ketua Timja RUU Pemerintahan Daerah Komite I DPD Emanuel Babu Eha (senator asal Nusa Tenggara Timur) menilai tidak terdapat kemajuan pembahasan, yang dibuktikan oleh sikap Pemerintah yang tidak beranjak atau keukeuh ingin mengintegrasikannya ke RUU Pemerintahan Daerah.

Pemerintah pun setuju pembahasannya di Panja, sembari mengingatkan kembali keruwetan berpemerintahan itu. Gamawan mengatakan, “Kami setuju Panja membahasnya habis-habisan, dengan semangat saling percaya dan kita membedah persoalan ini dengan pikiran jernih. Oleh karena itu, Pemerintah wajib mengingatkan, memberikan pandangan dan pendapatnya, karena Pemerintah mengalami praktik pemerintahan yang sekarang ini tersendat-sendat karena terkunci oleh berbagai perundang-undangan.”

Bersifat khusus atau istimewa

Di wilayah Indonesia terdapat beberapa daerah provinsi yang geografisnya memiliki karakteristik khusus, yaitu luas wilayah lautannya melebihi luas wilayah daratannya. Namun, fakta geografis itu bukan satuan pemerintahan yang bersifat khusus atau istimewa. Mengingat pembangunan daerah merupakan bagian penyelenggaraan pemerintahan daerah, termasuk percepatan pembangunan daerah provinsi berciri kepulauan, maka kegiatan itu harus berpedoman kepada UU 32/2004.

“Belum lagi, kalau dibuat aturan yang bisa berbenturan dengan aturan lain. Makin banyak undang-undang kita rumuskan, keruwetan berpemerintahan itu makin banyak. Inilah yang kami khawatirkan.” Untuk mengoptimalisasikan pembangunan di bidang kelautan, RUU Pemerintahan Daerah yang tengah dibahas DPR, DPD, dan Pemerintah sebagai pengganti UU 32/2004 mengatur khusus “daerah provinsi berciri kepulauan”. Nomenklatur ini tidak menimbulkan kerancuan dengan konsep “negara kepulauan” karena pengertian daerah provinsi berciri kepulauan pada RUU Pemerintahan Daerah dimaksudkan untuk beberapa daerah provinsi yang geografisnya memiliki karakteristik khusus, sehingga memerlukan perhatian khusus pula.

Alex menyebut semangatnya sama. “Aceh dan Papua high politics, toh kita bisa selesaikan. Ini dimensi politiknya tidak seberapa, lebih banyak menuntuk kesejahteraan. Kalau dalam Panja betul-betul bertentangan dengan UNCLOS 1982, tidak apa-apa. Persoalannnya, kita harus membuat undang-undang baru yang ada affirmative action, ada perlakuan khusus, ada loncatan. Kalau begini terus, daerah-daerah kepulauan akan tertinggal terus. Kita juga tidak mau bertabrakan dengan undang-undang lain, sehingga kita harus atur sedemikian rupa sehingga ada koordinasi dan sinkronisasi yang baik sehingga daerah-daerah kepulauan ada kemajuan. Niat kita sama, marilah kita laklukan sesuatu yang monumental buat republik ini. UU Desa yang lalu sangat monumental.”

Mengingat masa kerja DPR berakhir tanggal 6 Maret 2014, kelanjutan pembahasan DIM seusai masa reses. Raker Pansus RUU PPDK DPR bersama Komite I DPD dan Pemerintah pun bersepakat untuk melanjutkan pembahasannya pasca-Pemilu 9 April 2014 sekitar bulan Mei 2014 dan diharapkan pembahasannya selesai dalam masa sidang nanti atau sekitar bulan November-Desember. Gamawan juga mengakui, “Waktunya sangat kritis, karena pemilu tinggal hitungan hari, 35 hari. Hanya pejuang-pejuang istimewa yang bisa dan mau hadir hari ini.”

Frasa “percepatan pembangunan”

Dalam DIM RUU PPDK, Pemerintah berpendapat bahwa terminologi “percepatan” bersifat instruktif dan terbatas waktu. Frasa “percepatan pembangunan” pada RUU PPDK bermakna kegiatan konkrit guna mempercepat pembangunan dalam jangka waktu tertentu. Kegiatan percepatan atau akselerasi ini berwujud affirmative policy yang merupakan materi muatan peraturan presiden, bukan undang-undang.

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), dan peraturan perundang-undangan tidak mengenal, mengakui, dan mengatur “daerah kepulauan”. Oleh karena itu, frasa pada RUU PPDK tersebut menimbulkan kerancuan terhadap konsep “negara kepulauan”.

Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982 atau The 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982) tanggal 10 Desember 1982 yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan The 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea hanya mengenal, mengakui, dan mengatur “negara kepulauan” (arhipelagic state), sehingga “daerah kepulauan” bertentangan dengan UNCLOS 1982.

Kemudian, Pasal 18 ayat (1) UUD 1945 menyatakan Indonesia dibagi atas daerah provinsi, dan daerah provinsi itu dibagi atas daerah kabupaten dan daerah kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, sehingga UUD 1945 hanya mengenal, mengakui, dan mengatur “daerah otonom” provinsi, kabupaten, dan kota. Dan, Pasal 25A UUD 1945 menyatakan Indonesia sebagai negara kepulauan berciri Nusantara, sehingga UUD 1945 hanya mengenal, mengakui, dan mengatur “negara kepulauan”.

RUU Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Wilayah Kepulauan

Sebagaimana terungkap di bagian awal tulisan ini, Sidang Paripurna DPD mengesahkan RUU Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Wilayah Kepulauan. Paradigmanya tidak membedakan wilayah berkarakteristik terestrial (daratan lebih luas ketimbang lautan) dengan wilayah berkarakteristik aquatik (lautan lebih luas ketimbang daratan) tapi mengakomodasi pengelolaan sumberdaya kelautan, perikanan, dan sumberdaya alam lainnya.

“RUU ini memuat perspektif baru pengelolaan sumber-sumber potensi wilayah kepulauan,” Ketua Komite I DPD Alirman Sori menyatakannya, saat membacakan Laporan Perkembangan Pelaksanaan Tugas Komite I DPD di Gedung Nusantara V Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (14/12). “Paradigma pembangunan yang tidak membedakan wilayah berkarakteristik terestrial dengan wilayah berkarakteristik aquatik itu memunculkan gagasan menyusun sebuah RUU yang mengatur khusus daerah kepulauan.”

Dalam ketentuan RUU ini, yang dimaksud dengan “kepulauan”, baik sebagai wilayah provinsi maupun wilayah kabupaten/kota, adalah gugusan pulau, termasuk bagian pulau, perairan di antaranya dan lain-lain wujud alamiah yang berhubungan erat satu sama lainnya sehingga pulau-pulau, perairan, dan wujud alamiah lainnya itu suatu kesatuan geografi, ekonomi, dan politik yang hakiki.

RUU Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah di Wilayah Kepulauan mengedepankan desentralisasi asimetris, yakni pelimpahan wewenang khusus kepada daerah tertentu beserta alasan-alasan unik yang subyek wewenangnya menentukan relasi daerah khusus dengan pemerintah atau daerah lainnya serta arah kebijakan dan tata kelola pemerintahannya bertujuan untuk penguatan kapasitas pemerintah daerah, administrasi pemerintahan, dan kesejahteraan rakyat.

Bentuk dan susunan pemerintah daerah kepulauan tersebut tidak berbeda dengan bentuk dan susunan pemerintahan daerah yang berlaku berdasarkan undang-undang tentang pemerintahan daerah, namun urusan khususnya menyangkut wewenang penyelenggaraan pemerintahan yang disebut khusus dalam RUU ini. “Potensi lautan daerah kepulauan yang sangat besar belum terkelola selama ini dan berdampak terhadap penyelenggaraan pembangunan,” Alirman menegaskan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun