Mohon tunggu...
Ikhwan Mansyur Situmeang
Ikhwan Mansyur Situmeang Mohon Tunggu... -

Staf Pusat Data dan Informasi Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rule of Law dan Rule of Ethic Saling Melengkapi

14 Desember 2012   06:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:41 685
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Guru besar hukum tata negara Universitas Indonesia (UI) Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa hukum dan sistem hukum, termasuk peradilannya, tidak memadai sebagai satu-satunya andalan untuk memecahkan masalah perilaku manusia. Kompleksitas dinamika kehidupan menyebabkan norma-norma hukum dan sistem hukum mengalami gejala disfungsi dan bahkan malfungsi. Saking cepatnya perubahan dan perkembangan perilaku manusia, hukum dan sistem hukum yang berlaku cenderung terlambat mengantisipasi.

Etika dan sistem etika, termasuk peradilannya, menjadi sangat penting karena dapat mendahului pendekatan hukum dan sistem hukum, sehingga beban hukum dan sistem hukum dapat sedikit demi sedikit dikurangi karena peran etika dan sistem etika. Perangkat-perangkat pendukung untuk menegakkannya, yaitu kode etik dan institusi penegak kode etik, merupakan instrumen kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Menurutnya, norma hukum dan norma etika dapat dikembangkan simultan dan komplementer. “Kita harus memperbantukan norma lain untuk melengkapi norma hukum dan sistemnya, yaitu memperkenalkan etika dalam kehidupan publik (ethic in public). Etika dalam kehidupan publik dapat dibangun dan dikembangkan berkat perangkat-perangkat pendukung untuk menegakkannya, yaitu kode etik dan institusi penegak kode etik.”

Upaya hukum untuk mengatasi kejahatan dalam masyarakat terus dikembangkan di banyak negara mengingat dewasa ini banyak jenis kejahatan yang sebelumnya tidak dikenal seperti cyber-crime, drug, money laundering, trafficking, dan terorisme. “Perilaku manusia modern semakin rumit dan sulit dikontrol dan dibimbing ke arah yang diidealkan jika hukum dan sistem hukum menjadi satu-satunya andalan. Oleh karena itu, hukum dan sistem hukum harus mengubah dan memperbaiki diri sendiri dan cara kerjanya.”

Jimly menegaskannya ketika menjadi narasumber Seminar Nasional “Peran Badan Kehormatan dalam Menjaga Harkat, Martabat, dan Citra Lembaga Legislatif” di Gedung Nusantara IV Kompleks MPR/DPR/DPD, Kamis (13/12). Acara tersebut menjawab kritikan dan tuntutan publik atas perbaikan kinerja dan perilaku anggota Dewan atau lembaga legislatif, baik di tingkat pusat [Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD)] maupun di tingkat daerah [Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi dan kabupaten/kota]. Kenyataannya, belum seluruh anggota Dewan memiliki pertanggungjawaban atau akuntabilitas publik.

Pembicara lain ialah Wakil Ketua Badan Kehormatan (BK) DPR Siswono Yudo Husodo, Ketua Dewan Pers Bagir Manan, Ketua BK DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sukamto, Ketua BK DPRD Kabupaten Serang Muhsini, dan Ketua BK DPRD Kabupaten Langkat Khairul Anwar. Ketua BK DPD Andi Mapetahang Fatwa atau AM Fatwa memberikan sambutan, sedangkan Ketua DPD Irman Gusman membuka acara.

Jimly juga menekankan, dalam demokrasi kita harus membangun keseimbangan yang imbang mengimbangi. Watak demokrasi yang menghasilkan kebebasan justru berpotensi ketidakteraturan, bahkan konflik. “Doktrin rule of law dapat dilengkapi rule of ethic. Rule of law dan rule of ethic yang saling melengkapi dapat membangun keseimbangan yang imbang mengimbangi dan menjamin keteraturan, bahkan meredam konflik.”

Rule of law mempunyai sistem kontrol atas perilaku manusia yang kaku, rigid, dan sulit mengikuti kompleksitas dinamika perilaku manusia. Namun rule of ethic mempunyai sistem kontrol atas perilaku manusia yang tidak kaku, tidak rigid, dan tidak sulit mengikuti kompleksitas dinamika perilaku manusia.”

“Di bidang hukum kita mengenal istilah code of law, di bidang etika kita memperkenalkan istilah code of ethic atau code of conduct. Dalam hukum kita mengenal konsepsi tentang pengadilan hukum (court of law), dalam etika kita memperkenalkan konsepsi tentang pengadilan etik (court of ethic),” Jimly menyambung. Setelah tidak menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), ia menjadi Ketua Dewan Kehormatan Komisi Pemilihan Umum (DK KPU) dan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Mengenai DK KPU dan DKPP sebagai institusi penegak kode etik yang membuat kode etik serta sidang etik, Jimly menjelaskannya. Bahwa kendati kedudukan dalam struktur KPU serta bersifat ad hoc dan tidak mandiri (dependen), DK KPU melakukan sidang etik pertama yang terbuka sebagaimana lazimnya praktik lembaga peradilan. Merujuk ketentuan undang-undang penyelenggara pemilu yang baru, DK KPU berubah nama menjadi DKPP yang kedudukannya dalam rezim pemilu serta bersifat tetap dan mandiri (independen).

Sekarang, seluruh mekanisme pemeriksaan pelanggaran kode etik terkonsentrasi dan tersentralisasi di DKPP sebagai satu-satunya institusi penegak kode etik penyelenggara pemilu, baik KPU dan jajarannya di seluruh Indonesia maupun Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan jajarannya di seluruh Indonesia. Meskipun tidak menggunakan istilah pengadilan, hakikat kedudukan, tugas, dan wewenang DKPP benar-benar lembaga peradilan etik, yaitu lembaga pengadilan etik yang pertama di Indonesia, juga yang pertama di dunia. “Tidak ada negara yang memiliki lembaga peradilan etik penyelenggara pemilu.”

“Dulu etika dan akhlakul karimah atau akhlak mulia cukup dikhutbahkan dan materinya dikurikulumkan. Kini tidak cukup. Etika dan akhlak mulia harus dirumuskan, materinya dikurikulumkan, dan dijadikan terukur. Bentuk konkritnya kode etik dan institusi penegak kode etik.” Jimly berharap, segala prinsip peradilan yang berlaku di dunia hukum juga berlaku di dunia etika. Misalnya, prinsip audi et alteram partem atau semua pihak harus memiliki kesempatan dan transparansi atau keterbukaan.

Ia juga berharap, kehadiran DKPP sebagai institusi penegak kode etik dan rumusan kode etik penyelenggara pemilu menjadi model atau contoh agar institusi penegak kode etik lainnya melakukan praktik persidangan yang juga terbuka, sehingga pengertian kita tentang sistem peradilan etika dapat berkembang ke semua bidang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun