Mohon tunggu...
Ikhwan Mansyur Situmeang
Ikhwan Mansyur Situmeang Mohon Tunggu... -

Staf Pusat Data dan Informasi Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Reposisi Peran Gubernur dalam UU Pemerintahan Daerah

22 September 2011   02:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:44 6269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU 32/2004) memosisikan provinsi sebagai daerah otonom sekaligus sebagai wilayah administrasi. UU 32/2004 mengharuskan provinsi menjadi penghubung antara kepentingan pusat dan daerah, juga mengharuskan daerah mengoptimalkan potensi sumberdayanya. Tetapi, ketidakjelasan posisi gubernur di antara pemerintah pusat dan pemerintah kabupaten/kota dalam UU 32/2004 menjadi sumber konflik antarsusunan pemerintahan dan aparat. Di satu sisi, gubernur adalah wakil pemerintah pusat di daerah, dan di lain sisi, gubernur adalah kepala daerah yang dipilih rakyat.

Baik sebagai wakil pemerintah pusat maupun sebagai kepala daerah, gubernur memiliki kewenangan terbatas yang berimplikasi terhadap kewenangan yang tidak jelas. Dilemanya, sebagian pihak mengkhawatirkan bentuk negara kesatuan mengarah ke federasi apabila gubernur memiliki kewenangan sepenuhnya sebagai kepala daerah. Padahal, peran gubernur sangat penting sebagai unsur perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang bertanggungjawab kepada presiden dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintah pusat.

Dalam sejarah pemerintahan daerah di Indonesia, salah satu pengimbang antara sentralisasi pemerintah pusat dan desentralisasi pemerintah daerah ialah peran ganda gubernur. Sebagai wakil pemerintah pusat, UU 32/2004 menjabarkan tugas dan wewenang gubernur, yaitu pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan urusan pemerintahan kabupaten/kota; koordinasi penyelenggaraan urusan pemerintah di provinsi dan kabupaten/kota; serta koordinasi pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di provinsi dan kabupaten/kota.

Gubernur harus menjamin keterlaksanaan visi dan misi pemerintah pusat, terutama tugas-tugas pemerintahan umum seperti stabilitas dan integrasi nasional, koordinasi pemerintahan dan pembangunan, serta pengawasan penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota. Konsekuensinya, diperlukan pengaturan sistematis yang menggambarkan hubungan berjenjang, baik pengawasan, pembinaan, maupun koordinasi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di kabupaten/kota.

Sedangkan, gubernur sebagai kepala daerah menyelenggarakan otonomi seluas-luasnya, utamanya urusan lintas kabupaten/kota, kecuali urusan pemerintahan yang ditentukan undang-undang sebagai urusan pemerintah pusat. Penguatan peran gubernur sebagai kepala daerah memperkuat orientasi pengembangan wilayah dan memperkecil dampak kebijakan desentralisasi terhadap fragmentasi spasial, sosial, dan ekonomi di daerah.

Belum lama berselang, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi menyatakan rencana Pemerintah untuk merampungkan Undang-Undang (UU) Pemerintahan Daerah yang dalam waktu dekat diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sementara Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menyiapkan UU Pemerintahan Daerah versinya. Isu reposisi peran gubernur dalam hubungan pusat-daerah menghangat belakangan ini, dikaitkan dengan penguatan posisinya sebagai wakil pemerintah pusat yang berimplikasi terhadap tata cara pemilihannya.

“Mengacuhkan” peran gubernur

Jika diperjelas dalam UU Pemerintahan Daerah maka reposisi peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat mengurangi masalah implementasi UU 22/1999 juncto UU 32/2004 yang gagal mengubah paradigma bupati/walikota sebagai “penguasa lokal” kabupaten/kota. Dua UU yang tidak eksplisit menyebut hirarki antara provinsi dan kabupaten/kota ternyata melemahkan peran gubernur sebagai wakil pemerintah dalam melakukan pengawasan, pembinaan, dan koordinasi. Gubernur Sulawesi Utara Sinyo Harry Sarundajang menyebut masalah UU 32/2004 antara lain kabupaten/kota “tidak memiliki hubungan hirarki” dengan provinsi, sehingga bupati/walikota “mengacuhkan” peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.

Fenomenanya, pemerintah kabupaten/kota menghubungi pemerintah pusat tanpa sepengetahuan pemerintah provinsi, mereka bekerjasama dengan pihak luar negeri, bupati/walikota melakukan perjalanan dinas, dan perencanaan di kabupaten/kota tanpa sepengetahuan pemerintah provinsi. Ironisnya, ketika pemerintah kabupaten/kota menghadapi persoalan di daerahnya, seperti bencana, penyakit, kelaparan, pertanahan, perbatasan, hukum, atau keamanan, bupati/walikota meminta gubernur mengintervensi dan bertanggungjawab.

Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo mengakui, akibat penerapan otonomi daerah yang bertumpu di kabupaten/kota maka pemerintah kabupaten/kota mengabaikan pemerintah provinsi. Jika terkendala, barulah bupati/walikota berkoordinasi dengan gubernur. Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan mengeluhkan kesulitannya berkoordinasi dengan kabupaten/kota, karena di era otonomi daerah (UU 22/1999 dan UU 32/2004) hirarki terputus antarpemerintahan dan provinsi kehilangan perannya sebagai intermediate government (perantara pemerintahan).

Karenanya, para gubernur mengusulkan agar gubernur mempunyai kewenangan yang tegas terhadap bupati/walikota di wilayah provinsinya. Usulan mereka bersambut, karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat meresmikan Pembukaan Rapat Kerja Gubernur Seluruh Indonesia di Makassar menyinggung bahwa wakil presiden di daerah adalah gubernur. Rapat Kerja Gubernur se-Indonesia di Pekanbaru dan Makassar menyimpulkan antara lain penguatan peran gubernur sebagai one single command (kesatuan komando), yaitu gubernur memantapkan koordinasi antarlevel pemerintahan dan memperkuat sinergi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta mendukung efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintah daerah.

Mendagri mendukung penguatan posisi gubernur tanpa mengurangi otonomi kabupaten/kota sebagai salah satu Program 100 Hari Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, karena penguatan peran gubernur memperpendek rentang kendali dan mengurangi penyelesaian masalah di tingkat pemerintah pusat. Kiranya, reposisi peran gubernur dalam UU Pemerintahan Daerah merupakan kebutuhan desentralisasi dalam hubungan pusat-daerah, tidak hanya menjawab beberapa masalah penyelenggaraan pemerintahan daerah juga memperbaiki berbagai kelemahan UU 32/2004.

Konsekuensi sistem pemerintahan lokal berkarakter integrated prefectoral system yang diterapkan di Indonesia adalah hirarki daerah otonom serta gubernur mempunyai kewenangan untuk mengoordinasi, mengawasi, menyupervisi, dan memfasilitasi agar daerah mengoptimalkan penyelenggaraan otonominya. Gubernur juga mempunyai “tutelage power”, yaitu kewenangan membatalkan kebijakan daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebihtinggi.

Bagaimana reposisi peran gubernur berikut tugas dan wewenangnya sebagai kepala daerah dan wakil pemerintah pusat merupakan isu krusial UU Pemerintahan Daerah. Dual role tersebut memosisikan gubernur dalam hubungannya dengan presiden dan kementerian/lembaga di tingkat pusat, dalam hubungannya dengan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di tingkat provinsi, serta dalam hubungannya dengan bupati/walikota dan SKPD di tingkat kabupaten/kota. Semoga sebagian pihak tidak lagi mengkhawatirkan bentuk negara kesatuan mengarah ke federasi apabila gubernur memiliki wewenang sepenuhnya sebagai kepala daerah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun