Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menyerahkan draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Kelautan beserta naskah akademiknya kepada Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Selanjutnya, Baleg DPR membentuk Panitia Kerja (Panja) RUU Kelautan yang segera membahas substansi dan mengharmonisasikannya.
“Mindset (pola pikir) kita ialah pembangunan berbasis kelautan. Jadi, RUU Kelautan beserta naskah akademiknya memberikan arahan pengarusutamaan atau mainstreaming negara kepulauan bernama Indonesia yang berorientasi ke laut. Jadi, urusan kelautan atau maritim atau bahari menjadi arus utama kegiatan/program pembangunan,” Wakil Ketua DPD Laode Ida (senator asal Sulawesi Tenggara) menyatakannya saat Rapat Pleno Baleg DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/3).
RUU Kelautan terdaftar dalam list Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2013. Prolegnas merupakan instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang yang terencana, terpadu, dan sistematis.
Ignatius Mulyono (Fraksi Partai Demokrat/F-PD) selaku ketua memimpin acara bersama wakil-wakil ketua, Anna Mu’awanah (Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa/F-PKB) dan Achmad Dimyati Natakusuma (Fraksi Partai Persatuan Pembangunan/F-PPP). Ketua Komite II DPD Bambang Susilo (senator asal Kalimantan Timur) dan pimpinan/anggota Tim Kerja (Timja) RUU Kelautan Komite II DPD menghadirinya dan Bambang menyerahkan RUU Kelautan beserta naskah akademiknya kepada pimpinan Baleg DPR. Rapat Pleno Baleg DPR menunjuk Anna sebagai ketua panja.
Setelah beberapa tahun, RUU Kelautan terdaftar dalam list Prolegnas Prioritas Tahun 2013. Semasa Sarwono Kusumaatmadja (Menteri Kelautan dan Perikanan 1999–2001, Menteri Negara Lingkungan Hidup 1993–1988, Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara 1988–1993) sebagai ketua (periode 2006-2009), Panitia Ad Hoc (PAH) II DPD (nomenklatur lama Komite II DPD) berhasil merampungkan RUU Kelautan. Selain itu, PAH II DPD ikut membahas RUU Pelayaran dan menyusun RUU Kepelabuhanan sebagai RUU inisiatif.
Laode menyambung, “Selama pembahasan substansi RUU, kami mengharmonisasikannya dengan 35 existing law (hukum positif). Kami merangkum hasilnya. Terhadap existing law yang mengandung kelemahan substansi, kami mengusulkan penyempurnaan UU sektor dimaksud. RUU ini dilengkapi naskah akademik yang memuat latar belakang, identifikasi masalah, serta tujuan dan kegunaannya.”
Mulyono mengakui, selama ini sangat sulit mengelola laut karena terlanjur banyak UU sektor tanpa UU induk sebagai pokok-pokok kelautan. “Ke-35 UU memang masalah. Ibaratnya mereka anak-anak yang lahir duluan, tapi induknya belum ada. UU sektor terlanjur banyak, nyantol ke laut. Sangat sulit mengaturnya tanpa UU induk. Kita harus lahirkan induknya. RUU ini menjadi UU induk. Selama ini sangat sulit mengelola laut, kita (Baleg DPR dan Komite II DPD) membahas RUU Kelautan ini bersama-sama.”
Bambang menambahkan, seraya mengkaji 35 UU sektor pihaknya berusaha merampungkan draft RUU Kelautan beserta naskah akademiknya agar menjadi UU yang komprehensif mengatur pengelolaan laut. “Setelah mengkaji 35 UU sektor, kami merumuskan dalam RUU Kelautan ini bahwa laut jangan dikotak-kotak, termasuk jangan dikotak-kotak untuk provinsi dan kabupaten/kota. Kita menyatakan kepada dunia: laut Indonesia, termasuk laut sekitar, di antara, dan di dalam wilayah kepulauan Indonesia, adalah satu kesatuan.”
Menurutnya, setelah Perdana Menteri (PM) Indonesia waktu itu, Djuanda Kartawidjaja, mencetuskan Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957 dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengesahkannya melalui Konvensi Hukum Laut PBB 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/UNCLOS 1982) maka Indonesia adalah negara kepulauan. “Laut tidak sebagai pemisah, tetapi sebagai wahana pembangunan.”
Sejumlah anggota Baleg DPR menyoal manfaat dan mudarat serta urgensi RUU Kelautan dan arsitektur hukum di bidang kelautan. Bukhori Yusuf (F-PKS) mengapresiasi RUU Kelautan sebab betapa luasnya lautan dan banyaknya pulau di wilayah Republik Indonesia yang membutuhkan kebijakan kelautan, sedangkan Dimyati menanyakan pengaruh finansialnya terhadap anggaran negara.
Poempida Hidayatulloh (F-PG) menyoroti peran penting kapal laut untuk mengangkut komoditas antarpulau, berkeliarannya armada asing dan tersingkirnya armada lokal, serta potensi energi laut. Abdul Malik Haramain (F-PKB) bersikap hati-hati karena materi RUU ini jangan-jangan berbenturan dengan undang-undang yang lain seperti UU kepelabuhanan, UU perikanan, dan UU pelayaran.
Ali Wongso Halomoan Sinaga (F-PG) menyinggung urgensi RUU mengelola blue economy, Nudirman Munir (F-PG) mengingatkan agar RUU Kelautan tidak sektoral, Hendrawan Supratikno (F-PDIP) menekankan bahwa masa depan kita di laut dan semestinya sejak dulu kita memiliki UU Kelautan, sementara Didi Irawadi Syamsudin (F-PD) mengulas posisi geostrategis dan geopolitis wilayah Republik Indonesia dan persinggungan RUU Kelautan dengan hukum internasional.
Arsitektur Hukum
Menjawab tuntutan rapat pleno Baleg DPR setelah penyerahan draft RUU Kelautan beserta naskah akademiknya, dua hari berselang, Rabu (20/3), Komite II DPD menggambarkan arsitektur hukum di bidang kelautan ketika rapat pleno di ruangan yang sama. UU Kelautan adalah atapnya, sedangkan UU 4/2011 tentang Informasi Geospasial sebagai plafon, 20 undang-undang sektor sebagai pilar, dan 14 undang-undang sektor sisanya sebagai fondasi.
“Dalam arsitektur hukum di bidang kelautan, UU Kelautan adalah atapnya, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial sebagai plafon, 20 undang-undang sektor sebagai pilar, dan 14 undang-undang sektor sisanya sebagai fondasi,” Bambang menjelaskannya di hadapan rapat pleno Baleg DPR. Pimpinan/anggota Timja RUU Kelautan Komite II DPD juga menghadirinya.
Kendati mayoritas fraksi menerima RUU Kelautan, di antara mereka menuntut Komite II DPD menjelaskan posisi RUU Kelautan di tengah 35 existing law. “Kita setuju panja tapi ada fraksi yang masih ingin tambahan penjelasan atau keterangan,” Mulyono memberikan pengantar selaku ketua. Wakil-wakil ketua, Anna dan Dimyati, mendampinginya.
Mengapa UU Informasi Geospasial sebagai plafon? Ia beralasan, karena UU Informasi Geospasial mengamanatkan pengolahan data-data lokasi geografis, dimensi atau ukuran, dan/atau karakteristik kelautan sehingga menjadi bahan perumusan kebijakan, keputusan, dan/atau kegiatan yang terkait kelautan. “Saya bayangkan betapa berseraknya data-data kelautan dalam banyak UU sektor. Setelah RUU disahkan menjadi undang-undang maka data-data tersebut rahasia negara.”
UU sebagai pilar dan fondasi
Ke-20 undang-undang sektor sebagai pilar ialah UU 5/1984 tentang Perindustrian, UU 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU 16/1992 tentang Karantina, UU 10/1995 tentang Kepabeanan, UU 41/1999 tentang Kehutanan, UU 9/2001 tentang Imigrasi, UU 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, UU 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU 3/2002 tentang Pertahanan Negara, UU 18/2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu dan Teknologi; UU 16/2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan; UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU 26/2007 tentang Penataan Ruang, UU 39/2007 tentang Perubahan Atas UU 11/1995 tentang Cukai, UU 17/2008 tentang Pelayaran, UU 43/2008 tentang Wilayah Negara, UU 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU 10/2009 tentang Kepariwisataan, UU 45/2009 tentang Perubahan Ketiga UU 9/1985 (UU 31/2004) tentang Perikanan, UU 11/2010 tentang Cagar Budaya.
Ke-14 undang-undang sektor sisanya sebagai fondasi ialah UU 1/1973 tentang Landas Kontinen Indonesia, UU 8/1981 tentang Hukum Acara Pidana, UU 5/1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, UU 17/1985 tentang Pengesahan United Nations Convention of the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut), UU 6/1996 tentang Perairan, UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, UU 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025, UU 21/2009 tentang Pengesahan Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 Relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocks and Highly Migratory Fish Stocks (Persetujuan Pelaksanaan Ketentuan-Ketentuan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tanggal 10 Desember 1982 yang Terkait Konservasi dan Pengelolaan Sediaan Ikan yang Beruaya Terbatas dan Sediaan Ikan yang Beruaya Jauh), UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Merujuk ketentuan penyusunan undang-undang dalam UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Pasal 43 ayat (3) menyatakan bahwa RUU yang berasal dari DPD harus disertai naskah akademik. Peraturan DPR tentang Tata Tertib menyatakan, untuk pengharmonisasian, pembulatan, danpemantapan konsepsi RUU Kelautan, Baleg DPR membentuk panja.
Bambang menjelaskan, apabila dalam pembahasan bersama Komite II DPD – Baleg DPR menemukan masalah teknis, substansi, dan/atau asas pembentukan peraturan perundang-undangan, Komite II DPD menyangggupi untuk menyampaikan tambahan penjelasan atau keterangan. Apabila dalam pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU Kelautan memerlukan perumusan ulang, Komite II DPD ingin melakukannya bersama Baleg DPR.
Aspek penting RUU Kelautan meliputi penataan ruang kelautan, pola pembangunan kelautan berkelanjutan, peran serta masyarakat dalam pembangunan kelautan, penguatan tata kelola dan kelembagaan, serta kerjasama internasional. Setidaknya 12 institusi negaramengelola kelautan di antaranya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Perhubungan (Kemhub), Kementerian Keuangan (Kemkeu), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Tentara Nasional Indonesia (TNI) khususnya TNI Angkatan Laut, Kementerian Negara Riset dan Teknologi (Kemneg Ristek), serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemparekraf).
Proses Penyusunan
Menteri Kelautan dan Perikanan selaku Ketua Harian Dewan Maritim Indonesia (DMI), via surat nomor S.68/DMI–0/TU-211/III 2006 tertanggal 17 Maret 2006, menyampaikan RUU Kelautan kepada pimpinan Komisi IV DPR sebagai bahan penyusunan RUU inisiatif DPR. Tanggal 10 Mei 2006, Sekretaris Umum DMI mewakili Menteri Kelautan dan Perikanan mempresentasikannya di hadapan Komisi IV DPR.
Tanggal 19 September 2006, pimpinan Komisi IV DPR menyampaikan memo kepada pimpinan Badan Legislasi (Baleg) DPR. Memo berisi usulan agar rencana penyusunan RUU Kelautan melalui Prolegnas Tahun 2007. Berdasarkan Keputusan DPR Nomor 07A/DPR-RI?I/2006-2007 tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2007, RUU Kelautan di urutan ke-26.
Berdasarkan surat Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor B.218/MEN_KP/VI/2007 tanggal 13 Juni 2007, RUU Kelautan disampaikan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) agar Departemen Hukum dan HAM melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsinya. Melalui surat nomor M.UM.06/120 tertanggal 25 Juni 2007, Menteri Hukum dan HAM antara lain menyatakan RUU Kelautan merupakan salah satu RUU prakarsa Pemerintah yang menjadi tanggung jawab Departemen Kelautan dan Perikanan.
Departemen Hukum dan HAM melakukan beberapa kali pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsinya yang dihadiri oleh instansi terkait. Beberapa kali drafnya diusulkan ke DPR, namun dikembalikan.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo, selaku Ketua Harian Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN), saat memimpin Sidang Pleno DEKIN di Jakarta tanggal 15 Januari 2013, menjelaskan bahwa RUU Kelautan beserta naskah akademiknya disiapkan oleh tim kecil bentukan Komite II DPD, Komisi IV DPR, dan DEKIN.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H