Indonesia membutuhkan undang-undang tentang keantariksaan untuk mengatur kegiatan keantariksaan di wilayah Indonesia. Pengaturan bermaksud untuk menghindari kerugian dan kecelakaan akibat kegiatan keantariksaan oleh pemerintah, organisasi, asing, swasta, dan entitas non-pemerintah (non-governmental entities) yang mengatasnamakan negara Indonesia. Kemudian, mendorong penguasaan sains dan teknologi keantariksaan yang sistematik serta memperjelas posisi regulator, operator, dan para pihak yang terlibat kegiatan keantariksaan serta peraturan pelaksanaannya.
“Kegiatan keantariksaan high-tech, high-cost, dan high-risk. Oleh karena itu, kita harus melindungi agar kegiatan ini berjalan,” Sekretaris Menteri Negara Riset dan Teknologi (Sesmenristek) Mulyanto mengatakannya, mewakili Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) Gusti Muhammad Hatta, saat rapat kerja (raker) Komite II Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (20/6). Acara dipimpin Ketua Komite II DPD Bambang Susilo (senator asal Kalimantan Timur) dan Ketua Tim Kerja (Timja) RUU Keantariksaan Mohamad Surya (senator asal Jawa Barat).
Deputi Bidang Sains Pengkajian dan Informasi Kedirgantaraan (Deputi Sains) Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Thomas Djamaluddin menambahkan, Indonesia belum memiliki undang-undang keantariksaan kendati tergolong negara yang menandatangani dan mengesahkan (meratifikasi atau mengaksesi) beberapa rezim hukum internasional yang mengatur penyelenggaraan kegiatan keantariksaan. “Indonesia adalah negara ketiga di dunia yang memiliki satelit telekomunikasi tahun 1976 tetapi pengaturan penyelenggaraannya tidak ada.”
Hukum internasional tersebut ialah Indonesia menandatangani Protocol to the 1967 Outer Space Treaty kemudian mengesahkannya menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2002, menandatangani The 1968 Agreement on the Rescue of Astronauts, the Return of Astronauts, and the Return of Objects Launched into Outer Space (the Rescue Agreement) kemudian mengesahkannya menjadi Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1999, menandatangani The 1972 Convention on International Liability for Damage Caused by Space Objects (the Space Liability Convention) kemudian mengesahkannya menjadi Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 1996, dan menandatangani The 1975 Convention on Registration of Objects Launched into Outer Space (the Registration Convention) kemudian mengesahkannya menjadi Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1997. Hanya satu hukum internasional yang belum diratifikasi Indonesia, yakni The 1984 Agreement Governing the Activities of States on the Moon and Other Celestial Bodies (the Moon Agreement).
Thomas melanjutkan, Indonesia semestinya memiliki undang-undang keantariksaan yang memuat rencana induk penyelenggaraan kegiatan keantariksaan. “Jika kita merumuskan rencana induk dalam undang-undang keantariksaan berarti kita memiliki road map,” profesor riset astronomi astrofisika/peneliti utama LAPAN ini mengatakannya. “Kita dan Korea Selatan sama-sama mulai tapi kegiatan keantariksaan Korea Selatan lebih maju karena dukungan anggaran yang besar. Mereka melompat jauh. Presiden India sukses meyakinkan rakyatnya bahwa riset keantariksaan sangat bermanfaat. Berkat dukungan anggaran tanpa batas, pemerintah India memfasilitasi semua riset keantariksaan.”
Karena semua negara bebas mengeksplorasi dan mengeksploitasi antariksa sebagai wilayah bersama umat manusia (province of all mankind) untuk kepentingan semua negara maka undang-undang keantariksaan harus mengatur kerjasamanya. “Kita tidak bisa mandiri mengeksplorasi dan mengeksploitasi antariksa. Cina bekerjasama dengan Brasil dan Pakistan, negara-negara Eropa membentuk konsorsium. Agar kerjasama kegiatan keantariksaan menjadi terarah maka Indonesia semestinya memiliki undang-undang keantariksaan.”
Thomas menjelaskan sejumlah manfaat kegiatan keantariksaan melalui penerapan teknologi penginderaan jauh (inderaja) via satelit atau remote sensing seperti mengelola sumberdaya alam (hutan, laut, ikan); menginventarisasi luas sawah atau kebun dan masa panen, mengembangkan tata ruang wilayah, meteorologi dan klimatologi (cuaca, iklim), mitigasi bencana, serta pertahanan dan keamanan. Selain itu, aplikasi GPS (global positioning system) seperti survei atau pemetaan daratan dan lautan, navigasi dan transportasi; serta studi arus, gelombang, dan pasang surut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H