Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Gusti Kanjeng Ratu Hemas menyebut hukum dan kekeluargaan sebagai dua cara penyelesaian konflik antara penganut Islam syiah dan penganut Islam antisyiah di Dusun Nangkernang, Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, Jawa Timur. Sikap transparan dan adil aparat pemerintah harus membarengi penyelesaian simultannya.
“Termasuk tokoh-tokoh kunci di tingkat nasional. Tidak boleh ada kesan memihak salah satu kelompok karena mereka semua masyarakat Indonesia,” ia menyatakannya dalam keterangan di Gedung DPD Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (29/8), sore. Senator asal Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) ini tergolong concern mengamati dan mengritik penyelesaian kasus-kasus kekerasan atas nama agama.
Istri Sultan Hamengku Buwono X ini mengingatkan, bahwa dua cara penyelesaian konflik harus terselenggara simultan atau waktu terjadi dan berlakunya serentak, bersama-sama, atau sekaligus guna mengetahui pengaruh variabel-variabel penyebab konflik. “Cara hukum dan cara kekeluargaan harus simultan.”
Cara hukum, menurutnya, memberi jaminan kepada masyarakat bahwa keadilan ditegakkan dan kasus dituntaskan. Cara ini menjadi pesan kuat adanya peran negara sehingga diharapkan mempengaruhi penyelesaian kasus serupa di tempat lain yang masih terbengkalai atau penyelesaiannya tanggung.
Mantan Pemimpin Redaksi Majalah “Kartini” ini mencatat banyak kasus kekerasan atas nama agama di berbagai tempat yang penyelesaiannya tanggung. Jika cara hukum menyelesaikan konflik Sampang maka kasusnya menjadi contoh penyelesaian kasus-kasus kekerasan atas nama agama di berbagai tempat.
Bersama-sama cara hukum, cara kekeluargaan merupakan dorongan sosial dan moral untuk rekonsiliasi atau membangun kembali kebersamaan, melewati masa sulit, dan mengurangi trauma psikologis. Cara ini menghidupkan nilai-nilai kekeluargaan berlandaskan persaudaraan sebagai dasar utama persatuan dan kesatuan. “Juga merekatkan negara Republik Indonesia,” Hemas, yang juga Ketua Task Force Penanggulangan Bencana Alam DPD ini, menandaskan.
Mencederai konstitusi
Sebelumnya, Ketua DPD Irman Gusman (senator asal Sumatera Barat) menganggap bahwa konstitusi tercederai akibat konflik Sampang. Mencederai konstitusi karena Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menyebut negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa yang menjamin kebebasan beragama.
“Konflik yang baru-baru ini terjadi di Sampang tentu saja mendapat perhatian kami (DPD) karena mencederai konstitusi yang menjamin kebebasan beragama,” Irman menegaskannya ketika memimpin Sidang Paripurna DPD di Gedung Nusantara V Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (28/8). Dua Wakil Ketua DPD, Laode Ida (senator asal Sulawesi Tenggara) dan Hemas mendampinginya memimpin acara.
Irman merujuk Bab XI tentang Agama Pasal 29 UUD 1945 ayat (1) dan (2) yang menyatakan bahwa “negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan “negara menjamin kemerdekaan tiaptiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Lulusan School of Business University of Bridgeport, Connecticut, Amerika Serikat, ini mengamati perkembangan masalah beberapa pekan terakhir di ranah publik makin menunjukkan jelas tanda-tanda permasalahan masyarakat yang makin beragam. Sayangnya, bentrokan antarwarga akibat permasalahan agama yang kembali terjadi merupakan konflik suku agama ras dan antargolongan (SARA) yang gagal teredam. “Membuktikan usaha pemerintah yang gagal meredam konflik SARA.”
Konflik-konflik yang mencederai konstitusi seperti di Sampang tentu saja mendapat perhatian para senator sehingga Ketua DPD mengingatkan Komite III DPD dan Komite I DPD untuk mendalami permasalahannya dalam kerangka perspektif dan paradigma pluralisme serta hak warga. “Tentunya, sebagai anggota DPD yang melekat dengan permasalahan daerah, kita terusik karena peristiwa tersebut.”
Menyangkut ketertiban dan keamanan, Wakil Ketua Fraksi Utusan Daerah Majelis Permusyawaratan Rakyat (FUD MPR) periode 2002-2004 ini menekankan agar aparat mesti sanggup mencegah konflik-konflik yang mencederai konstitusi. “Percikan-percikan potensi konflik yang lambat terantisipasi aparat makin memperburuk langkah-langkah penanganan, sehingga masyarakat justru meragukan kredibilitas aparat melakukan pencegahan.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H