Ketua Panitia Khusus Dana Bagi Hasil (Pansus DBH) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) John Pieris (senator asal Maluku) menyatakan bahwa DPD memperjuangkan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. “Kami berkesimpulan, dana bagi hasil sangat merugikan daerah, terutama daerah penghasil sumberdaya alam, termasuk bagi hasil pajaknya. Rezim hukum dana bagi hasil tidak berpihak ke daerah. Kami memperjuangkan revisi beberapa pasal dalam undang-undang perimbangan keuangan (Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004) seperti Pasal 11-24,” ia menegaskan.
John menyatakannya ketika memberikan sambutan sebelum pembukaan Seminar Nasional Dana Bagi Hasil yang Adil Bagi Daerah di Gedung Nusantara V Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (11/10). Acara menghadirikan antara lain Menteri Pertanian Suswono, Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho, Gubernur Kalimantan Tengah Agustin Teras Narang, Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak, dan Asisten III Seketariat Daerah Provinsi Bali I Made Santa mewakili Gubernur Bali I Made Mangku Pastika.
Melalui seminar nasional, DPD berharap rumusan dana bagi hasil lebih baik. “Menghasilkan perspektif yang baru agar perimbangan keuangan antara pemerintah psuat dan pemerintah daerah memiliki rumusan yang lebih baik. Reformulasi dana bagi hasil menjadi tidak terhindarkan jika desentralisasi fiskal dan penguatannya menjadi pilihan strategis untuk mewujudkan paradigma pembangunan yang berkeadilan dan bermartabat. Catatlah bahwa desentralisasi pembangunan justru memperkuat integrasi bangsa, bukan mengancam keutuhan negara kesatuan.”
Sebelumnya, DPD mendukung judicial review Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU 33/2004) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Norma yang diujikan adalah Pasal 14 huruf e dan f pada frasa “84,5% untuk pemerintah dan 15,5 % untuk daerah” dan frasa “69,5% untuk pemerintah dan 30,5% untuk daerah”, sedangkan norma yang pengujinya adalah Pasal 1 ayat (1), Pasal 18A ayat (2), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2), Pasal 33 ayat (1), Pasal 33 ayat (3), Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.
Ketika membuka acara, Ketua DPD Irman Gusman mengakui bahwa sistem sentralistik menguntungkan sebagian daerah sekaligus merugikan sebagian daerah lainnya. “Dalam sistem sentralistik, tentunya ketidakadilan yang terasa. Dalam sistem desentralistik, tentunya keadilan yang mesti terasa. Dalam fase pembangunan berkeadilan itu, semuanya sesuai kontribusi wilayah. Nah, otonomi daerah memberi ruang bagi daerah tingkat kabupaten/kota mana pun untuk membangun daerahnya, untuk menjadi apa pun.”
Namun pelaksanaan otonomi daerah belum memenuhi harapan. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah uang beredar di Jakarta dulu dan kini kurang lebih sama saja. “Ternyata demokrasi kita baru politik saja, sedangkan ekonomi kita masih menganut rezim sentralistik. Mayoritas uangnya kembali ke pusat, baik dari daerah yang maju maupun daerah yang kurang maju. Sebagai indikator pemerataan, jumlah uang beredar dulu dan kini tidak jauh berbeda. Jumlahnya yang berkurang dari 65% ke 49% tapi 41% terbagi ke provinsi di Jawa, hanya 10% yang terbagi ke provinsi lain,” senator asal Sumatera Barat itu menambahkan.
Membandingkan kontribusi ekonomi antara gugusan Sumatera-Jawa dan gugusan luar Sumatera-Jawa, faktanya gugusan Jawa dan Sumatera masih menyumbang 85% pertumbuhan ekonomi Indonesia. “Makanya, kami berkomitmen untuk mendorong pembangunan ke Indonesia bagian timur, seperti Papua dan Papua Barat, Maluku dan Maluku Utara, serta Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat, supaya di sana juga berkembang pusat pertumbuhan ekonomi. Bukan mendikotomikan tapi karena masih terjadi ketidakadilan. Kami di Sumatera-Jawa mengalah untuk saudara-saudari kami di luar Sumatera-Jawa.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H