Wilayah perbatasan menjadi isu yang melibatkan relasi antarnegara. Sebagai sebuah konsep geografis, masalah perbatasan selesai ketika dua atau lebih negara yang masing-masing memiliki wilayah perbatasan menyepakati batas-batas wilayah negaranya. Permasalahan justru ketika perbatasan menjadi konsep sosial ketika masyarakat menghuni atau melintasinya.
Perubahan mind-set dibutuhkan untuk mengubah stigma yang berlaku bahwa wilayah perbatasan adalah teras belakang (kurang terurus, dibiarkan terlantar) menjadi teras depan (bagian terindah sebuah negara). Langkah-langkah strategis harus ditetapkan guna pengembangan wilayah perbatasan, baik perbatasan laut maupun darat, apalagi mengingat kesejahteraan masyarakatnya sangat bervariasi.
Bagi negara kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia (panjang garis pantai lebih 81.000 km, jumlah pulau-pulau lebih 17.508, luas laut sekitar 3,1juta km²) yang posisinya di simpang dua samudera maka wilayah pesisir dan lautan Indonesia termasuk yang rentan dan rawan kejahatan seperti illegal trafficking, human smuggling, juga pencurian keanekaragaman hayati (biodiversity) dan illegal dumping.
“Trafficking, smuggling bukan karena faktor dari sana (luar Indonesia) saja, juga faktor dari sini (dalam Indonesia). Traffickers, smugglers memanfaatkan perbatasan sebagai stepping-stone (pijakan kaki). Di imigrasi, bea cukai, dan sebagainya ada saja orang-orang kita yang mau bekerja sama. Semuanya fullback factors (faktor penarik) untuk masuk ke Indonesia,” kata Aida Zulaika Nasution Ismeth saat Perspektif Indonesia “Mengapa Persoalan Perbatasan Tak Kunjung Usai?” di Pressroom DPD, Kompleks Parlemen, Senayan--Jakarta, Jumat (27/8/2010).
“Negara kita negara kepulauan, luas sekali. Masalahnya banyak saat ini karena orientasi kita yang terlalu ke daratan dan pusat, mengabaikan lautan dan daerah. Kita harus konsentrasi di bagian utara, yang berpotensi masalah perbatasan antara Indonesia dan Malaysia, Singapura, Vietnam, Thailand,” ujar anggota DPD asal Kepulauan Riau dan isteri Gubernur Kepulauan Riau Ismeth Abdullah ini.
Karakteristik wilayah perbatasan Indonesia juga rentan dan rawan, karena banyak garis-garis perbatasan antara wilayah Indonesia dan negara tetangga yang penetapannya belum final, sehingga kerap terjadi kesalahpahaman. Beberapa pulau di wilayah perbatasan bisa diserobot karena beberapa alasan, di antaranya tidak dihuni, tidak diawasi, dan tidak dimanfaati. Celakanya, kita kekurangan bukti-bukti otentik kalau ada sengketa hukum international.
Semenjak Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan terlepas dari wilayah Indonesia, garis perbatasan menjadi berubah. “Setelah Sipadan-Ligitan, Malaysia berani mengklaim Ambalat. Mereka menggunakan patokan yang berlandaskan kontinen, satu lagi (Indonesia) menggunakan patokan yang berlandaskan kelautan. Kemampuan kita lemah untuk menegakkan wilayah (teritori) dan yurisdiksi (kewenangan),” katanya.
Ancamannya macam-macam. Ada yang pembalakan di Kalimantan Barat, Kalimatan Tengah, dan Kalimatan Timur, penambangan pasir pulau-pulau Kepulauan Riau untuk perluasan Singapura yang mengancam penentuan batas maritim, atau klaim kepemilikan pulau yang diajukan negara tetangga. “Tambah luas Singapura, Bintan begitu-gitu saja,” tukasnya. “Saya sangat prihatin. Pantainya direklamasi, pasirnya dari kita. Ada legal dan ada ilegal.”
Lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE UI) dan program Magister Manajemen UI ini kembali mengingatkan semua pihak terkait agar meningkatkan perhatiannya ke wilayah perbatasan. Salah satu alasannya adalah nasionalisme masyarakat setempat. “Masyarakat di sana lebih mengenal Malaysia ketimbang negaranya sendiri,” ucapnya. “Kalau ditanya siapa Presiden kita, mereka tidak tahu. Mereka lebih bangga sebagai orang Malaysia.”
Aida memisalkan, masyarakat di Kecamatan Krayan, bagian barat Kabupaten Nunukan (Kalimantan Timur) yang berbatasan dengan Serawak (Malaysia), yang sebagian besar penduduknya suku Dayak Lundayeh, sedikit mengetahui Indonesia tetapi banyak mengetahui Malaysia. Kecamatan Krayan penghasil beras terbesar di Kabupaten Nunukan, yaitu beras adan yang dipasarkan ke Malaysia dan Brunei.
Perempuan kelahiran Kota Raja, 10 April 1948, ini berharap Badan Nasional Penanganan Perbatasan (BNPP) segera bekerja setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meneken peraturan presiden (perpres) yang menindaklanjuti Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara. BNPP di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri).
Instansi-instansi terkait wilayah perbatasan selain Kemdagri, seperti Kementerian Sosial (Kemsos), Kementerian Kesehatan (Kemkes), Kementerian Pendidikan Nasional (Kemdiknas), Kementerian Perhubungan (Kemhub), Kementerian Pertahanan (Kemhan), Tentara Nasional Indonesia (TNI)/Kepolisian Republik Indonesia (Polri) harus menggiatkan program kesejahteraan (prosperity approach) dan program pertahanan (security approach).
Khusus menyangkut security approach, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mengalokasikan dana yang memenuhi MEF (minimum essential force) TNI sebagai dasar pengembangan postur pertahanan. Aplikasinya dimulai dengan rasio antara jumlah personil dan Alat Utama Sistem Persenjataan (Alutsista) TNI yang dioperasikan. “Apalagi kita mau menjadi deterrent factor (faktor penangkal).”
Penjagaan wilayah laut menjadi tantangan yang kompleks sebagai deterrent factor. Khusus di pulau-pulau yang berbatasan, Kemhan memperbanyak pos-pos pemantauan dan menempatkan pasukan TNI di pulau-pulau tersebut. Pulau-pulau tersebut sangat strategis karena penentu kedaulatan Nusantara. “Jangan sampai, pulau-pulau di wilayah perbatasan bernasib mirip Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan hanya karena kelengahan kita.”
“Setelah BNPP dibentuk, kita harus betul-betul fokus. Seluruh unsur instansi Pemerintah harus berkoordinasi. Kalau tidak, akan muncul masalah lain.” Antar-instansi terkait wilayah perbatasan harus menggiatkan program ekonomi karena wilayah perbatasan berpotensi bagi perdagangan internasional yang menguntungkan. “Dari sisi perdagangan regional, Sumatera bisa memanfaatkan ASEAN Free Trade Area.”