Mohon tunggu...
Ikhwan Mansyur Situmeang
Ikhwan Mansyur Situmeang Mohon Tunggu... -

Staf Pusat Data dan Informasi Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Catatan

“84 Undang-undang Bermasalah, Tumpang-Tindih, dan Karut-Marut”

17 Juli 2012   02:13 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:53 693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lokakarya Grand Design Pembangunan Hukum Nasional dan Hubungan Pusat-Daerah yang digelar Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Gedung DPD, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu-Kamis (19-20/10/2011), berhasil menginventarisasi masalah pembangunan hukum dan hubungan pusat-daerah. Kerjasama PPUU DPD dengan perguruan tinggi mendapati tumpang-tindih dan karut-marut undang-undang, bahkan undang-undang tersebut tidak dapat dilaksanakan di daerah.

“Kami menemukan 84 undang-undang bermasalah, tumpang-tindih dan karut-marut, mengingkari hak masyarakat lokal dan adat,” ujar Turiman Fachturahman, pengajar Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kalimantan Barat. Misalnya, persoalan sikap mendua hukum agraria terhadap hukum adat dan masyarakat adat, konservasi sumberdaya alam dan ekosistem yang mengabaikan peran masyarakat adat, penghormatan dan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dan hutan adat, serta perlindungan tanah hak milik masyarakat hukum adat dalam wilayah kerja pertambangan minyak dan gas.

Detilnya, konsiderans Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UU PA) meneguhkan hukum adat sebagai sumber hukum agraria tetapi penghormatan dan pengakuan eksistensi masyarakat hukum adatnya terbebani persyaratan yang cepat atau lambat justru menyingkirkan mereka. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem juga tidak mengatur peran masyarakat adat dalam konservasi sumberdaya alam dan ekosistem walaupun mereka memiliki kearifan lokal dalam memelihara sumberdaya alam dan ekosistemnya.

Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dan hutan adatnya tergantung sejumlah persyaratan dan kemauan negara. Sedangkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi melindungi tanah hak milik masyarakat hukum adat dalam wilayah kerja pertambangan minyak dan gas tetapi mengabaikan prinsip the right of free, prior, and informed consent (FPIC) sebagai pengakuan terhadap tanah dan sumberdaya serta penghormatan terhadap legitimasi otoritas mereka.

Kemudian, hasil Lokakarya Grand Design Pembangunan Hukum Nasional dan Hubungan Pusat-Daerah menyimpulkan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota mendegradasi pembagian kewenangan antara pusat dan daerah. “Ketentuan tersebut bertentangan dengan konstitusi,” lanjutnya.

Mengenai pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya ekonomi lainnya serta perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, Lokakarya Grand Design Pembangunan Hukum Nasional dan Hubungan Pusat-Daerah mendorong peraturan perundang-undangan yang pengaturannya lebih memperhatikan kebutuhan, peran serta, dan kontrol masyarakat daerah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun