Mohon tunggu...
Ikhwan Mansyur Situmeang
Ikhwan Mansyur Situmeang Mohon Tunggu... -

Staf Pusat Data dan Informasi Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik

“Syarat Domisili” Calon Anggota DPD Sangat Merugikan

1 Maret 2013   08:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   17:30 1491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ketua Panitia Perancang Undang-Undang (PPUU) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) I Wayan Sudirta mengingatkan bahwa “syarat domisili” calon anggota DPD peserta pemilihan umum (pemilu) dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU Pemilu) sangat merugikan DPD (daerah), karena memberikan kesempatan kepada calon perorangan (anggota DPD) peserta pemilu di luar daerah pemilihan untuk dapat menjadi peserta pemilu anggota DPD. Idealnya, calon anggota DPD harus memenuhi syarat domisili di provinsi yang bersangkutan.

“DPD (daerah) berpotensi sangat dirugikan. Apakah kita membiarkan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) tidak menghiraukan putusan MK (Mahkamah Konstitusi)? Ini patut jadi pemikiran kita, kesepakatan kita. Sebaiknya kita mengambil inisiatif. Kalau DPR mengabaikan putusan MK, lalu siapa lagi yang menghormati putusan MK?” Wayan, kelahiran Pidpid (Karangasem, Bali), 20 Desember 1950, menyatakannya ketika membacakan Laporan Perkembangan Pelaksanaan Tugas PPUU DPD di Sidang Paripurna DPD, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (26/2).

Tanggal 12 April 2012 Rapat Paripurna DPR mengesahkan UU Pemilu yang baru. PPUU DPD tidak pernah terlibat dalam pembahasan, utamanya isu peserta pemilu anggota DPD, antara fraksi-fraksi partai politik Komisi II DPR dan Pemerintah—Presiden biasanya menugaskan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM), baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama untuk mewakili Pemerintah dalam membahas RUU. Sayangnya, isu ini tidak membetot perhatian publik (seperti peneliti dan pegiat pemilu, pers, dan civil society lainnya), kecuali isu partai politik peserta pemilu anggota DPR.

Menyangkut persoalan PPUU DPD yang tidak pernah terlibat dalam pembahasan, Wayan menceritakan pengalamannya, “Kita lobby-lobby DPR sejak tujuh tahun yang lalu, waktu kita membahas RUU Susduk (RUU tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah), ternyata tidak menghasilkan apa-apa. Kita juga lobby-lobby DPR agar (komposisi unsur) pimpinan MPR tidak seperti sekarang, ternyata mereka putuskan sendiri. Lobby-lobby itu tidak berhasil sama sekali. Lobby-lobby tetap kita teruskan, tidak bermaksud berburuk sangka, jauh lebih penting kita harus waspada.”

Di kesempatan Sidang Paripurna DPD itu, senator asal Bali yang pendiri/penasihat Bali Corruption Watch (BCW), penasihat Indonesia Corruption Watch (ICW), dan pembela/pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta (1977-1980), juga Ketua Kaukus Antikorupsi DPD dan Ketua Panitia Khusus (Pansus) Agraria dan Sumberdaya Alam DPD, ini mengingatkan mudharat Pasal 12 huruf C UU 8/2012, bahwa perorangan dapat menjadi peserta pemilu setelah memenuhi persyaratan antara lain bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Persyaratan calon perorangan (anggota DPD) peserta pemilu tersebut mirip ketentuan UU Pemilu yang lama, yakni Pasal 12 huruf C Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang diuji materi (judicial review) oleh DPD dan perorangan anggota DPD, bahwa perorangan yang bertempat tinggal di wilayah NKRI dapat menjadi peserta pemilu anggota DPD.

Dalam amar (perintah) putusannya, MK mengabulkan permohonan DPD dan perorangan anggota DPD. MK berkesimpulan bahwa syarat “domisili di provinsi” calon anggota DPD merupakan norma konstitusi yang implisit dalam Pasal 22C ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), sehingga seharusnya dimuat sebagai rumusan norma yang eksplisit dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008. Jimly Asshiddiqie, ketuanya, membacakan putusan MK untuk perkara nomor 10/PUU-VI/2008 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Selasa (1/7/2008).

Idealnya, calon anggota DPD harus memenuhi syarat berdomisili di provinsi yang bersangkutan. Merujuk Pasal 63 huruf A Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, calon anggota DPD selain harus memenuhi syarat berdomisili di wilayah NKRI, juga harus memenuhi syarat berdomisili di provinsi yang bersangkutan sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun berturut-turut yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon atau pernah berdomisili selama 10 (sepuluh) tahun sejak berusia 17 (tujuh belas) tahun di provinsi yang bersangkutan. Idealnya lagi, merujuk huruf B, calon anggota DPD harus memenuhi syarat tidak menjadi pengurus partai politik sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun yang dihitung sampai dengan tanggal pengajuan calon. Sayangnya, UU Pemilu berikutnya (UU 10/2008 dan UU 8/2012) menghilangkan “syarat berdomisili di provinsi yang bersangkutan” dan “syarat bukan pengurus dan/atau anggota partai politik”.

“MK memutuskan frasa bertempat tinggal di wilayah NKRI harus dimaknai sebagai syarat domisili di provinsi yang didomisilinya (bagi calon anggota DPD). Kami menyampaikannya kepada KPU agar KPU menuangkan prinsip putusan MK tersebut dalam peraturannya. Tapi KPU tidak memenuhinya. Ketentuan Pasal 12 huruf C UU 8/2012 berpotensi sangat merugikan DPD (daerah), karena memberikan kesempatan bagi calon di luar daerah pemilihan untuk maju menjadi calon anggota DPD,” sarjana hukum lulusan Universitas Brawijaya serta pengagum Mahatma Gandhi, Swanu Vivekananda, Nelson Mandela, Soekarno, I Gusti Ngurah Rai, I Nengah Dangin (ayahandanya) ini menjelaskan.

Ketika rapat dengar pendapat (RDP) antara PPUU DPD dan KPU di Gedung DPD Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (20/2/2013), Ketua KPU Husni Kamil Manik beralasan, ketentuan tersebut bunyi Pasal 12 huruf C UU 8/2012. Di hadapan pimpinan dan anggota PPUU DPD, ia menjelaskan tahapan, program, dan jadwal penyelenggaraan pemilu anggota DPD. PPUU DPD mengharapkan KPU mencantumkan prinsip putusan MK tersebut dalam peraturan KPU tentang pencalonan anggota DPD, khususnya verifikasi pencalonan anggota DPD, atau peraturan KPU tentang petunjuk teknis tata cara penelitian, verifikasi, penetapan, dan pencalonan perorangan peserta pemilu anggota DPD.

Waktu DPD (periode 2004-2009) menyoal syarat domisili calon anggota DPD, Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita mempertanyakan mengapa di bawah UUD 1945 yang sama justru dua UU Pemilu bertentangan satu sama lain. Dua UU Pemilu dimaksud ialah UU 12/2003 dan UU 10/2008. Nama keduanya pun sama, yaitu Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

“UU 12/2003 dengan UU Pemilu yang baru kan bertentangan. Yang dulu mengatakan harus berdomisili di daerah, yang sekarang menjadi tidak, justru di bawah UUD yang sama,” Ginandjar mencontohkan penafsiran leluasa oleh penguasa di hadapan para pakar dan kalangan pers di Hotel Menara Peninsula, Jakarta, Sabtu (29/3/2008). Ia membandingkan perbedaan kedua UU Pemilu di bawah UUD 1945 yang sama dengan rezim Soekarno dan Soeharto yang berkuasa di bawah UUD 1945 yang juga sama. “UUD-nya sama tapi ditafsirkan dan diterapkan berbeda. Yang benar yang mana?”

Revisi UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD

Bagian lain, Wayan menyinggung revisi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD). Tanggal 21 Februari 2013 Tim Kerja (Timja) Revisi UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD PPUU DPD dan Wakil Ketua DPD Laode Ida bertemu Panitia Kerja Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Panja Baleg DPR).

Hasilnya, Panja Baleg DPR mendorong UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD terbagi empat undang-undang, yaitu UU tentang MPR, UU tentang DPR, UU tentang DPD, dan UU tentang DPRD. Juga mendorong sekretariat jenderal lembaga legislatif yang mandiri dan tidak tergantung lembaga eksekutif. “Kita harus mewaspadai usulan tersebut, karena menyangkut uji materi kita ke MK, yaitu keterlibatan DPD dalam proses legislasi. Tentunya kita mendukung peningkatan peran DPD dalam proses legislasi di UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD, sebelum penguatan posisi DPD dalam perubahan kelima konstitusi.”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun