Ketika dua pimpinan (nonaktif) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Chandra Marta Hamzah dan Bibit Samad Rianto sebagai tersangka tindak pidana korupsi (pemerasan, penyuapan, dan penyalahgunaan wewenang), banyak kalangan mencurigainya direkayasa Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum Kasus Chandra Marta Hamzah dan Bibit Samad Rianto (Keputusan Presiden Nomor 31 Tahun 2009) yang beranggotakan delapan orang, sehingga kemudian disebut Tim Delapan. Todung sebagai anggota tim.
Tapi, tidak sedikit yang mengkritik Tim Delapan. Alasannya, mereka hanya mencari fakta dan memverifikasinya, tidak boleh mengeluarkan legal opinion (pendapat hukum) atau ius opinio dan legal reasoning (penalaran hukum). Terhadap tuduhan bahwa Tim Delapan melebihi mandatnya, Todung mengatakan, ketika Tim Delapan mencari fakta dan memverifikasinya maka mau tidak mau melahirkan legal opinion. “Ketika memverifikasinya, akan terbersit legal opinion. Sangat sempit kalau kami hanya menulis kembali temuan-temuan dan prosesnya.”
“Kita hidup di zaman yang terbuka, transparan, akuntabel. Kami ingin menunjukkan kepada publik bahwa jika bekerja di tengah-tengah open society maka publik berhak mengetahuinya. Tapi tidak cukup itu, hukum kita akan hancur berantakan kalau kasus ini tidak diselesaikan cepat, tegas, dan adil.”
Menurut Todung, kalau Tim Delapan dilarang mempublikasikan legal opinion-nya atau hanya menyerahkan hasilnya kepada Presiden, maka sia-sia saja. “Banyak contoh tim-tim yang dibentuk Presiden sebelumnya, tapi tanpa diikuti aksi apa-apa. Bagaimana nasib kasus Munir? Buat saya, akuntabilitas kepada publik adalah segala-galanya.”
Todung mengatakan, selain DPR, komponen-komponen masyarakat juga berhak melakukan fungsi kontrol terhadap institusi hukum. “Dalam iklim yang sangat terbuka kini, kontrol dilakukan lembaga-lembaga lain di luar DPR. Sangat banyak civil society di Indonesia, seperti LSM, yang melakukan fungsi kontrol. Begitu bebas media-media massa kita.”