Keistimewaan Yogyakarta mencakup bidang kepemimpinan; kepemerintahan; pelestarian dan pengembangan kebudayaan; dan tata kelola pertanahan. Semuanya dilandasi nilai-nilai kearifan lokal dan kepemimpinan lokal yang memihak rakyat.
Di tengah-tengah polemik, spanduk-spanduk referendum terpasang di sudut kota Yogyakarta. Spanduk intinya menyatakan rakyat Yogyakarta siap referendum.
“Kalau Yogyakarta agak keras, referendum, kami menganggapnya kegelisahan, karena RUU yang berlarut-larut. Terbiarkan. Kami juga gelisah. Jangan sampai kegelisahan ini meningkat dari waktu ke waktu. Presiden tidak bisa membiarkan Yogyakarta gelisah terus menerus. Kita harus segera mempercepatnya. DPD sudah siap, draft-nya sudah ada,” ucap sarjana pendidikan Universitas Cendrawasih (1984) dan magister manajemen Universitas Hasanudin (2003) ini.
“Untungnya, Republik Indonesia ini didiami orang Yogyakarta yang halus, sopan, santun, sabar, walaupun diperlakukan begitu. Kalau pakai rumus Papua, ‘kita merdeka saja’. Tapi, kita mencintai Republik Indonesia agar tetap lengket dan kuat. Kita ingat sejarah, bagian-bagian Republik Indonesia pernah memberontak karena kecewa atas perlakukan pusat yang tidak adil kepada daerah.”
Sumino menyinggung Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 86/P Tahun 2008 tertanggal 7 Oktober 2008 yang dimaksud agar tidak terjadi kekosongan pemerintahan DIY. Presiden mengeluarkan keputusan yang memperpanjang paling lama 3 tahun masa jabatan mereka yang berakhir tanggal 9 Oktober 2008. Selama tiga tahun itu, diharapkan RUU Keistimewaan Yogyakarta selesai dibahas dan disosialisasikan.
Perpanjangan masa jabatan dilandasi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, dan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Soal dasar hukum perpanjangan masa jabatan itu, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) waktu itu, Mardiyanto, mengakui UU 32/2004 tidak eksplisit menyebutnya tetapi harus ada formula yang legal mengatasinya.
“Kami harus tegas dan berani menyatakan apa yang benar dan apa yang salah,” tukasnya. “Landasan hukum tersebut tidak satu pun mengamanatkan suksesi melalui keputusan presiden. Kami mengingatkan Presiden bahwa suratnya bisa menyebabkan masalah jadi berlarut-larut. Sekarang saja, suratnya terancam lagi oleh masa jabatan yang mau selesai. Cara ini tidak bisa diteruskan, harusnya setingkat undang-undang.”
Menurut anggota DPRD Papua periode 1999-2004 dan 2004-2009 ini, sikap DPD mengenai Keppres tidak kontraproduktif dengan eksistensi pembentukan DIY karena bertujuan untuk menciptakan tertib hukum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H