Mohon tunggu...
Ikhwan Mansyur Situmeang
Ikhwan Mansyur Situmeang Mohon Tunggu... -

Staf Pusat Data dan Informasi Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Emanuel Babu Eha: “Jangan Hanya Hitung Teritori Daratan, Hitung Juga Teritori Lautannya”

21 Februari 2012   02:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:24 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemerintahan Daerah versi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengakomodasi teritori kepulauan agar memperoleh perlakuan khusus dalam rumusan kebijakan yang berbeda dengan penyelenggaraan pemerintahan secara umum. Undang-Undang Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak eksplisit mengakui teritori kepulauan.

“Kami mengeksplisitkannya supaya perhatian kepada daerah yang memiliki teritori kepulauan mendapat perhatian yang sama dengan daerah yang tidak memiliki teritori kepulauan. Jangan hanya hitung teritori daratan, hitung juga teritori lautannya,” alasan Emanuel Babu Eha, Ketua Tim Kerja (Timja) RUU Pemerintahan Daerah Komite I DPD, kepada pers sewaktu kunjungan kerja Ketua DPD Irman Gusman di Kantor DPD Sulawesi Selatan di Jl Nuri No 27, Makassar, Kamis (21/7). Sebelumnya, ia juga memberi pernyataan kepada pers di wahana edutainment DPD di KidsZona lantai tiga Mal Graha Tata Cemerlang (GTC Mall), Makassar.

Provinsi yang dikategorikan kepulauan asalkan wilayah lautan melebihi wilayah daratan. Karakteristiknya terdiri atas pulau-pulau atau bagian pulau yang membentuk gugusan pulau, sehingga menjadi satu kesatuan geografis, ekonomi, politik, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Kabupaten/kota yang dikategorikan kepulauan juga begitu kriterianya.

“Ada 10 provinsi yang dikategorikan kepulauan. Semula ada delapan, ditambah di antaranya DKI Jakarta karena mereka memiliki Kepulauan Seribu,” tambahnya. 10 provinsi yang dikategorikan kepulauan ialah Maluku Utara, Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, Papua, Papua Barat, DKI Jakarta, Kepulauan Bangka Belitung, dan Kepulauan Riau.

Targetnya, terumuskan kebijakan yang berbeda untuk daerah kepulauan seperti perhitungan dana transfer berupa insentif dana alokasi yang berbeda dengan daerah daratan. “Dengan insentif tersebut, sarana dan prasarana kebaharian menunjang kegiatan pembangunan di daerah bersangkutan, seperti pembangunan pelabuhan laut dan transportasi laut,” ujar Emanuel.

Selain daerah kepulauan, RUU Pemerintahan Daerah versi DPD mengakomodasi daerah khusus, daerah istimewa, kawasan perbatasan, dan kawasan khusus. Pembentukannya ditujukan untuk kepentingan tertentu yang mempertimbangkan teritori kepulauan dan/atau kondisi geografi suatu daerah, daerah perbatasan, ibukota negara; dan sosial, budaya, ekonomi, politik, serta jumlah penduduk tertentu.

RUU Pemerintahan Daerah versi DPD juga mengatur pembentukan daerah otonom baru berupa provinsi dan/atau kabupaten/kota yang usulannya harus memenuhi syarat ekonomi kewilayahan, sosial politik, administratif teknis, dan geografis kewilayahan. Pembentukan daerah otonom baru melalui tahap transisi dua-tiga tahun yang dievaluasi setiap enam bulan.

Daerah otonom tahap transisi disebut provinsi administratif yang dipimpin oleh gubernur dan/atau kabupaten/kota administratif yang dipimpin bupati/walikota. Selama tahap transisi, daerah otonom baru mendapat 30% anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) daerah induk dan dana alokasi khusus (DAK) untuk pembangunan sarana dan prasarana pemerintahannya. Provinsi administratif atau kabupaten/kota administratif yang tidak layak meneruskan otonominya digabung dengan daerah induk atau daerah di sebelahnya.

Emanuel menjelaskan, RUU Pemerintahan Daerah versi DPD mengatur tata hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, termasuk pembagian urusan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hubungan pemerintahan antara provinsi dan kabupaten/kota atau antarkabupaten/kota dilakukan agar penyelenggaraan pemerintahan saling terkait, bergantung, dan bersinergis.

Reposisi gubernur

Karenanya, RUU Pemerintahan Daerah versi DPD mengatur reposisi gubernur terhadap bupati/walikota agar terjadi harmoni hubungan antara pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota. Penyebab utama disharmoni adalah kekeliruan pemikiran penyelenggara pemerintah daerah kabupaten/kota yang menganggap tidak ada hubungan hirarki antara daerah otonom provinsi dan daerah otonom kabupaten/kota.

“Pemahaman keliru mereka semakin menjadi-jadi setelah reformasi. Bupati/walikota merasa menjadi kepala daerah yang benar-benar otonom karena mereka dipilih langsung rakyat. Bagi mereka, tidak ada hubungan hirarki. Dalam wilayah Republik Indonesia, tidak boleh bupati/walikota berpikir begitu. Antara pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah kabupaten/kota ada hubungan hirarki. Makanya, kami menegaskan kembali posisi gubernur dalam RUU ini.”

Implikasi pemahaman bahwa tidak ada hubungan hirarki adalah terjadi disharmoni hubungan, karena beberapa pemerintah daerah kabupaten/kota kurang berkenan terhadap peran gubernur. Selaku wakil pemerintah pusat di daerah, gubernur melakukan koordinasi serta pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota.

Gubernur harus bisa melaksanakan koordinasi, pembinaan, dan pengawasan terhadap bupati/walikota. Selama ini lemah peran gubernur. Kenyataannya, banyak kasus bupati/walikota yang tidak menghiraukan panggilan gubernur. Padahal, gubernur adalah perpanjangan tangan pemerintah pusat dan kapasitasnya adalah wakil pemerintah pusat di daerah. Mestinya, bupati/walikota menghiraukan gubernur.”

“Kalau kita sandingkan program kabupaten/kota dengan program provinsi, kadangkala bias. Gubernur bilang program provinsi begini. Tapi bupati/walikota bertanya, ‘Berapa anggaran buat kami?’ Kalau tidak ada anggaran, mereka tidak menggubris program provinsi. Seharusnya anggaran program kabupaten/kota sepengetahuan gubernur. Ini membuktikan lemah peran koordinasi, pembinaan, dan pengawasan gubernur di wilayahnya.”

“Dalam revisi UU 32/2004, kami mengusulkan agar bupati/walikota jika ingin berhubungan dengan pusat harus melalui gubernur. Jangan bupati/walikota langsung menghadap menteri tanpa sepengetahuan gubernur. Otonomi tetap di kabupaten/kota tapi tidak berarti mereka merdeka sendiri.”

Mengenai sanksi, Emanuel mengatakan bahwa sanksi tidak secara langsung dijatuhkan gubernur kepada bupati/walikota yang bandel. “Misalnya, ketika gubernur mengoordinasikan pembangunan tetapi bupati/walikota tidak bersedia di bawah koordinasi gubernur maka gubernur harus meyakinkan pemerintah pusat bahwa bupati/walikota bersangkutan patut dijatuhi sanksi. Jadi, gubernur bisa memberi sanksi melalui mendagri setelah gubernur melapor kepada presiden. Kalau gubernur tidak bisa memberi sanksi kepada bupati/walikota, tidak ada gunanya. Gubernur berbusa-busa ngomong, tetap saja bupati/walikota tidak dengar.

Sekretaris daerah

Mengenai sekretaris daerah, RUU Pemerintahan Daerah versi DPD mengatur seleksi calon atau fit and proper test, agar pegawai negeri di luar jajaran pemerintah daerah bisa menjadi sekretaris daerah. “Tata cara seleksi untuk mengisi lowongan sekretaris daerah dipublikasi melalui media masa nasional dan daerah. Jadi, tidak harus birokrat pemerintah daerah, pegawai negeri di perguruan tinggi bisa menjadi sekretaris daerah.”

“Mirip internal job posting, agar kita memiliki sekretaris daerah yang profesional. Selama ini, bupati/walikota bebas mengangkat sekretaris daerah dari mana saja, sekehendaknya, tanpa diketahui latar belakangnya. Kepala SMA diangkat jadi sekretaris daerah.”

Mengenai titik berat otonomi, Emanuel menjelaskan, “Jauh lebih bagus kalau titik berat otonomi di tingkat provinsi. Kenapa? Agar provinsi bisa melakukan koordinasi, pembinaan, dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan di tingkat kabupaten/kota. Kalau tidak, sulit menyelenggarakan pemerintahan. Kalau titik berat otonomi di tingkat provinsi, gubernur dipilih langsung.”

“Kecuali provinsi menjadi wilayah administratif, gubernur menjadi wakil pemerintah pusat, gubernur ditunjuk pemerintah pusat, maka titik berat otonomi di kabupaten/kota. Konsekuensinya, DPRD provinsi dihilangkan. Selama ini kita separuh-paruh. Ada otonomi di provinsi, ada otonomi di kabupaten/kota. Tapi, sulit mengembalikan otonomi di tingkat provinsi. Banyak yang menentangnya.”

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun