Menyangkut tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah pusat yang memimpin penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota, Ryaas menyatakan UU 32/2004 tidak jelas dan tegas mengaturnya. Akibatnya, terjadi disharmoni hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah provinsi perihal penyelenggaraan program dekonsentrasi yang dilimpahkan kementerian/lembaga kepada gubernur.
Penyebabnya, antara lain karena kementerian/lembaga berhubungan langsung dengan kepala satuan kerja perangkat daerah dalam penyelenggaraan program dekonsentrasi, sehingga ada gubernur yang tidak mengetahui pengelolaannya sejak awal hingga akhir. “Coba tanya gubernur, konfirmasi mereka. Mereka akan bilang, ‘Kami memang orang pemerintah pusat tapi apa kewenangan kami?’ Tak ada.”
“Kenapa? Karena tidak diturunkan Jakarta. Orang-orang di Jakarta takut kekurangan kekuasaan. Mereka tidak ikhlas menyerahkan kewenangannya kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, apalagi sebagai kepala daerah. Mereka tak mau mengalihkannya ke wilayah administrasi. Kalau memang gubernur wakil pemerintah pusat, kasih dong kekuasaan agar ia bisa menggunakan sumberdaya yang tersedia. Jadi, Jakarta yang bikin kacau semuanya.”
“Contohnya penanganan bencana alam. Tidak ada pengalihan kekuasaan kepada gubernur. Setelah tertimpa musibah, Anda mesti berdoa agar Jakarta bersedia membantu. Gubernur harus telepon presiden dulu atau menteri keuangan bahwa ia membutuhkan dana. Status bencana alamnya mesti ditetapkan dulu, bencana nasional atau bencana lokal. Orang keburu mati semua. Apa gubernur mesti berbohong agar dananya segera diturunkan?”
Karena UU 32/2004 tidak jelas dan tegas mengatur tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil pemerintah pusat maka tidak efektif dan efisien perannya melaksanakan koordinasi serta pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota. Kelemahan utamanya ialah tidak ada anggaran dan perangkat wilayah yang mendukung pelaksanaan peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat.
Akibatnya, progam dekonsentrasi dan penggunaan dananya sulit diaudit. Seharusnya, diperjelas dan dipertegas peran gubernur sebagai wakil pemerintah pusat yang mengelola program dekonsentrasi dan mempertanggungjawabkan penggunaan dananya. “Maaf, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) paling susah mengaudit dana dekonsentrasi. Entah berapa triliun. BPK saja mengaku, apalagi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).”
Karena UU 32/2004 tidak efektif dan efisien peran gubernur terhadap penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota. Makanya, bupati/walikota mengurus dana transfer ke Jakarta, termasuk ke DPR, tanpa menghiraukan peran gubernur. “Bupati/walikota ngurus ke Jakarta, harus kasih 10% dulu agar dapat dana. Mesti nyogok. Modus begini tidak rahasia lagi. Akibatnya, banyak bupati/walikota tidak bisa mengelola uang-uang muka yang disetornya ke Jakarta, ya masuk penjara.”
Terjadi pula disharmoni hubungan antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota karena tidak jelas dantidak tegas peran gubernur melaksanakan koordinasi serta pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota. “Koordinasi, pembinaan, dan pengawasan tidak jalan. Diundang rapat, bupati/walikota tidak datang. Mereka mau jalan sendiri-sendiri. Jakarta yang bikin begitu, bukan salah bupati/walikota.”
Mengatasinya, dibutuhkan penguatan peran gubernur selaku wakil pemerintah pusat untuk melaksanakan koordinasi serta pembinaan dan pengawasan. “Berikan otonomi penuh kepada gubernur. Berikan saja kekuasaan penuh kepadanya untuk mengurus urusan domestik yang sudah bisa diurus pemerintah daerah. Logikanya, kalau urusan domestik sudah bisa diurus pemerintah daerah, serahkan saja kepada mereka. Pemerintah nasional hanya mengurus urusan yang strategis dan global.”
Mengenai pemilihan kepala daerah, Ryaas menjelaskan, ketidaksetujuannya. “UUD 1945 juga tidak memerintahkan. Itu hanya karena dua alasan yang sangat praktis, yaitu di DPRD terjadi money politics. Kita tidak sadar bahwa money politics-nya sekarang lebih luas. Dari 45-100 orang anggota DPRD provinsi, sekarang menjadi satu wilayah, 100 ribu sampai sekian juta orang di tingkat provinsi.”
“Alasan lainnya, pilpres (pemilihan presiden) aman sentosa, tidak masalah. Kira-kira begitu penilaiannya. Jadi bakal aman sentosa kalau dilaksanakan di kabupaten/kota. Kita juga tidak sadar bahwa pemilihan di kabupaten/kota tidak sama psikologisnya. Orang yang kalah atau menang di kabupaten/kota ketemu tiap hari. Mereka ketemu di pengajian, di pasar, di tempat orang mandi-mandi. Sakit hatinya berlanjut.”