Badan Kerjasama Provinsi Kepulauan mengusulkan pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU) Daerah Kepulauan sebagai upaya yuridis untuk dapat memberdayakan dan mengangkat masyarakat di daerah kepulauan dari kemiskinan dan kemelaratan. Pengaturan hukum untuk daerah kepulauan tersebut penting mengingat di samping provinsi kepulauan terdapat pula kabupaten/kota kepulauan yang berada dalam daerah provinsi yang bukan kepulauan.
“Perlakuan khusus terhadap daerah kepulauan (provinsi dan kabupaten/kota) menyangkut kebijakan pemerintah terhadap penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan dan pelayanan masyarakat,” ujar Ketua Badan Kerjasama Provinsi Kepulauan Karel Albert Ralahalu yang juga Gubernur Maluku, saat rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Gedung DPD Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (30/1).
Ketua Komite I DPD Dani Anwar menyatakan bahwa Komite I DPD mendukung pemerataan dan keadilan untuk daerah kepulauan, baik daerah kepulauan provinsi maupun daerah kepulauan kabupaten/kota. “Kami sepakat dan bersemangat memperjuangkan RUU Daerah Kepulauan,” ujarnya, didampingi Ketua Tim Kerja (Timja) RUU Daerah Kepulauan Jacob Jack Ospara.
Karel menegaskan, urgensi RUU Daerah Kepulauan menyangkut substansi bahwa daerah kepulauan memiliki karakteristik yang berbeda dengan daerah kontinental sehingga model pembangunannya, terutama pembangunan infrastruktur, juga berbeda. Selama ini perhatian terhadap pembangunan ekonomi dan bidang lainnya terlambat di daerah kepulauan dan masyarakatnya terisolir. Selain karakteristiknya berbeda, substansi lainnya ialah amanat Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, dan Pasal 25A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Badan Kerjasama Provinsi Kepulauan mendefenisikan daerah kepulauan sebagai wilayah yang memiliki karakteristik akuatik teresterial (lautan lebih luas dari daratan) seperti Provinsi Maluku yang 92,6% wilayahnya laut, Provinsi Kepulauan Riau 96%, Provinsi Nusa Tenggara Timur 80,8%, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 79,9%, Provinsi Nusa Tenggara Barat 59,13%, Provinsi Sulawesi Utara 95,8%, dan Provinsi Maluku Utara 69%. Selain akuatik teresterial, wilayah di Indonesia terbagi atas wilayah yang memiliki karakteristik teresterial (seluruhnya daratan) dan terestrial aquatik (daratan lebih luas dari lautan).
Menurut Karel, realitas karakteristik daerah kepulauan tersebut memastikan bahwa sumberdaya alam yang dominan ialah sumberdaya perikanan dan kelautan. Masalahnya, provinsi dan kabupaten/kota kepulauan tidak mendapatkan manfaat langsung pengelolaan sumberdaya alamnya, terutama perikanan. Misalnya, tidak mendapatkan proporsi dana bagi hasil perikanan, infrastruktur kelautan belum memadai untuk ekspor, serta kebijakan pembangunan berorientasi kontinental sangat merugikan daerah kepulauan.
“Wilayah terestrial dan terestrial aquatik memiliki banyak kemudahan ketimbang wilayah aquatik terestrial. Di wilayah aquatik terestrial yang dikenal sebagai daerah kepulauan, masyarakatnya cenderung terisolir karena tidak memiliki akses di berbagai bidang terutama pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik dan sosial budaya. Jika demikian, daerah kepulauan membutuhkan upaya yuridis untuk dapat memberdayakan dan mengangkat masyarakatnya dari kemiskinan dan kemelaratan,” sambungnya.
Upaya yuridis untuk daerah kepulauan merupakan pengaturan normatif sebagai perlakuan khusus. Contohnya, pengaturan dana bagi hasil perikanan yang memperhitungkan persentase tertentu, kewenangan daerah kepulauan mengeluarkan perizinan bidang perikanan dan kelautan, pembangunan kawasan industri kelautan berbasis gugus kepulauan, serta melindungi sumberdaya alam di laut agar terjaga potensi lestarinya.
Karel menegaskan, guna memastikan hukum pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam di laut serta mengupayakan tertib administrasi, dilakukan kadasterisasi (pemetaan) wilayah laut yang meliputi pengukuran, penataan dan pembukuan hak dan perolehannya, serta pembuatan dan pemberian surat bukti. Kepastian hukum antarpemerintah (pusat dan daerah) serta antara pemerintah dan kesatuan masyarakat hukum adat.
Kewenangan daerah untuk mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam di laut dilakukan dengan mengatur kadasterisasi tersebut. Hak atas wilayah laut yang menjadi obyek kadasterisasi meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak pengelolaan perairan pesisir, hak tanggungan, laut negara, dan hak pengelolaan kawasan konservasi perairan daerah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H