Mohon tunggu...
Ikhwan Mansyur Situmeang
Ikhwan Mansyur Situmeang Mohon Tunggu... -

Staf Pusat Data dan Informasi Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Money

Industrialisasi Perikanan, Mungkinkah?

28 Desember 2011   02:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:40 1141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mulai tahun 2012, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang dipimpin Sharif Tjitjip Sutardjo fokus mengembangkan industrialisasi perikanan di Tanah Air. Arah kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan dalam rencana kerja pemerintah (RKP) tahun 2012 yang terkait industrialisasi perikanan ialah peningkatan produksi perikanan dan daya saing serta pemasaran hasil perikanan. Sharif menjadikan industrialisasi perikanan sebagai kredo memajukan sektor kelautan dan perikanan.

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025 yang menargetkan Indonesia menjadi negara maritim yang maju, mandiri, dan kuat setujuan dengan visi rencana strategis pembangunan kelautan dan perikanan tahun 2010-2014, yaitu Indonesia sebagai penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar tahun 2015. Misinya menyejahterakan masyarakat kelautan dan perikanan.

Grand strategy-nya antara lain mengelola sumberdaya kelautan dan perikanan, meningkatkan produktivitas dan kedayasaingan, serta memperluas akses pasar domestik dan pasar internasional. Targetnya jelas: revolusi biru! Yakni perubahan berpikir dari daratan ke maritim yang berkonsep pembangunan berkelanjutan untuk meningkatkan produksi kelautan dan perikanan.

Industrialisasi perikanan ala Sharif bukan kemustahilan karena 5,9 juta kilometer persegi luas wilayah lautan Indonesia memenuhi syarat. Luas wilayah lautan tersebut terdiri atas 3,2 juga kilometer persegi wilayah laut teritorial dan 2,7 juta kilometer persegi wilayah laut zona ekonomi eksklusif. Luas wilayah daratan hanya 1,9 juta kilometer persegi, termasuk perairan seperti danau, situ, rawa, dan sungai.

Luas wilayah lautan adalah modal mewujudkan industrialisasi perikanan. Industrialisasi perikanan yang pesat merangsang perikanan tangkap dan perikanan budidaya untuk menyediakan bahan baku di hulu, industri pengolahan di tengah, serta pemasaran di hilir. Sektor jasa pun terangsang, misalnya pendirian koperasi perikanan. Kegiatannya bisa membuka peluang kerja, menambah pendapatan dan permintaan masyarakat, memacu konsumsi ikan, serta mempercepat peningkatan dan perluasan ekspor produk perikanan.

Peranan industri perikanan dalam struktur ekonomi terlacak melalui sumbangan industri perikanan terhadap produk domestik bruto (PDB). Tercatat kontribusi PDB perikanan terhadap PDB nasional tanpa minyak dan gas bumi (migas) tahun 2010 hanya 3,4%, perkiraan tahun 2011 adalah 3,5% dan 4,5 target tahun 2012.

Produksi perikanan tahun 2010 mencapai 10,86 juta ton (perikanan tangkap 5,38 juta ton, perikanan budidaya 5,48 juta ton), perkiraan tahun 2011 mencapai 12,26 juta ton (perikanan tangkap 5,41 juta ton, perikanan budidaya 6,85 juta ton) dan 14,86 juta ton target tahun 2012 (perikanan tangkap 5,44 juta ton, perikanan budidaya 5,42 juta ton).

Produk perikanan itu tergolong besar di dunia yang jika ditingkatkan maka Indonesia bisa menjadi penghasil produk perikanan yang terbesar di dunia. Sayangnya, kebanyakan ikan berkualitas itu diekspor, sedangkan rakyat miskin karena alasan ekonomi mengonsumsi ikan asin yang berkurang kadar gizi dan proteinnya.

Menyangkut devisa, ekspor hasil perikanan Indonesia ketinggalan dibanding Thailand dan Filipina. Nilai ekspor hasil perikanan tahun 2010 mencapai USD 2,86 miliar, perkiraan tahun 2011 adalah USD 3,20 miliar dan USD 3,60 miliar target tahun 2012. Thailand melampaui USD 5 miliar dan Filipina melewati USD 4 miliar. Padahal bahan bakunya kurang 10%, selebihnya mereka mengimpor ikan. Sebaliknya, Indonesia yang menghasilkan bahan baku lebih 10 juta ton ikan hanya sedikit devisanya.

Konsumsi ikan tahun 2010 hanya mencapai 30,47 kg/kapita/tahun, perkiraan tahun 2011 adalah 31,57 kg/kapita/tahun dan 32,70 kg/kapita/tahun target tahun 2012. Konsumsi ikan orang Indonesia itu seperlima orang Jepang yang mencapai 150 kg/kapita/tahun. Orang Malaysia, Thailand, dan Singapura mengonsumsi ikan melebihi 40 kg/kapita/tahun, orang Amerika Serikat sekitar 80 kg/kapita/tahun, dan orang Korea Selatan sekitar 140 kg/kapita/tahun.

Untuk mencapai target, industrialisasi perikanan harus intensif, efisien, efektif, dan integral dalam suatu pusat pertumbuhan di daerah. Kita mengenal teori pusat pertumbuhan (pole of growth) sebagai strategi kebijakan pembangunan industri daerah. Inti teorinya, proses pembangunan melahirkan industri pemimpin (l’industrie motrice) yang menjadi industri penggerak utama pembangunan suatu daerah. Karena keterkaitan antarindustri, perkembangan industri pemimpin mempengaruhi perkembangan industri lainnya. KKP harus fokus memilih jenis industri pemimpinnya.

Pemusatan industri di suatu daerah mempercepat pertumbuhan ekonomi karena menciptakan pola konsumsi yang berbeda antardaerah, sehingga perkembangan industri di daerah tersebut mempengaruhi daerah lain. Oleh karena itu, kebijakan industrialisasi perikanan di suatu pusat pertumbuhan harus menjadi kegiatan utama KKP dan dinas-dinasnya yang lintas kementerian/lembaga dan lintas daerah. Sektor perikanan dan kelautan bersinggungan dengan banyak instansi pemerintahan di pusat dan daerah. Apalagi, strategi kebijakan diversifikasi horizontal dan vertikal KKP berpotensi konflik.

Rencana strategis hanya road map menuju Indonesia sebagai negara maritim tahun 2025. KKP harus membuat kebijakan intensif, efisien, efektif, dan integral tetapi implementasinya didukung instansi pemerintahan. Industrialiasi perikanan bukan obat mujarab (a panacea) mengatasi keterbelakangan. Faktor produksi, atau kebijakan, atau sektor tidak sanggup sendirian mengatasi ketertinggalan sektor kelautan dan perikanan. Jika tidak, industrialisasi perikanan hanya utopia. Ujung-ujungnya, kita gigit jari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun