Tanggal 14 September 2012 yang lalu, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengajukan ke Mahkamah Konstistusi (MK) pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3), serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Pimpinan DPD, yakni Irman Gusman (Ketua DPD), La Ode Ida (Wakil Ketua DPD), dan Gusti Kanjeng Ratu Hemas (Wakil Ketua DPD), bertindak selaku pemohon yang memberikan kuasanya kepada Todung Mulya Lubis dan kawan-kawan. Sebagai pihak yang menganggap pemberlakuan kedua undang-undang merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya, judicial review tersebut merupakan upaya lembaga negara ini untuk memperoleh ketepatan dan kepastian dalam mengoptimalisasikan sistem keparlemenan di samping Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Alhamdulillah, tanggal 27 Maret 2013 yang lalu MK memberikan penegasannya. MK mengabulkan permohonan DPD untuk sebagian atas materi ayat, pasal, dan/atau bagian UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD serta UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Poin-poinnya antara lain kedudukan DPD di bidang legislasi setara DPR dan Presiden serta pengusulan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tertentu (otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah) oleh tiga pihak yang setara (tripartit), yaitu Presiden, DPD, dan DPR (bukan fraksi DPR). Pembahasan RUU yang bukan lingkup bidang DPD dilakukan oleh Presiden dan DPR yang levelnya antarlembaga (bipartit), bukan dilakukan oleh Pemerintah dan fraksi DPR.
Konsekuensi perintah atau suruhan (amar) putusan MK tersebut adalah proses legislasi model tripartit, yakni DPR, DPD, dan Presiden, yang setara sejak awal hingga akhir tahapan Pembicaraan Tingkat I (kegiatannya adalah pengantar musyarawarah, pembahasan daftar inventarisasi masalah, dan pendapat mini). Artinya, MK memutuskan DPD berhak dan/atau berwenang mengusulkan RUU tertentu dan membahasnya sejak awal hingga akhir tahapan Pembicaraan Tingkat I. Pada Pembicaraan Tingkat II, DPD menyampaikan pendapat sebelum persetujuan atau pengesahan RUU menjadi UU antara DPR dan Presiden dalam rapat paripurna DPR sampai sebelum tahapan persetujuan. Jadi, DPD tidak terlibat pengesahan RUU menjadi undang-undang (UU).
MK juga memutuskan DPR, DPD, dan Pemerintah menyusun Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang dilakukan oleh tiga lembaga, yaitu DPR, Presiden, dan DPD (tripartit), DPD dapat mengusulkan RUU tentang pencabutan peraturan pengganti undang-undang (perppu) yang menyangkut lingkup bidang DPD, serta putusan MK yang berlaku pada saat diucapkan (negative legislature) tanpa menunggu revisi UU MD3 dan UU P3.
Mahkamah menilai, memosisikan RUU dari DPD sebagai RUU usul DPD, dibahas oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR, tapi kemudian Baleg DPR mengubahnya menjadi RUU dari DPR adalah mereduksi kewenangan DPD untuk mengajukan RUU sesuai ketentuan Pasal 22D ayat (1) UUD 1945. Mahkamah memutuskan, kedudukan DPD sama dengan DPR dan Presiden. RUU diajukan oleh DPD berdasarkan Prolegnas dan di luar Prolegnas. Ihwal DPD ikut membahas RUU dari DPR atau RUU dari Presiden yang selama ini tidak melibatkan DPD dalam keseluruhan proses pembahasannya, Mahkamah menilai bahwa UU MD 3 dan UU P3 mengurangi kewenangan DPD untuk membahas RUU sesuai ketentuan UUD 1945.
Mahkamah memutuskan, DPD ikut membahas sejak awal hingga akhir Pembahasan Tingkat I dalam rapat komisi atau panitia khusus DPR, yaitu pengantar musyawarah/penjelasan/pandangan, mengajukan dan membahas Daftar Inventarisasi Masalah (DIM), serta pendapat mini. Ketika penyampaian penjelasan/pandangan, RUU dari DPD harus diperlakukan sama dengan RUU dari Presiden dan RUU dari DPR:
1)Terhadap RUU dari Presiden, Presiden berkesempatan memberikan penjelasan, sedangkan DPR dan DPD memberikan pandangan; 2)Terhadap RUU dari DPR, DPR berkesempatan memberikan penjelasan, sedangkan Presiden dan DPD memberikan pandangan; 3)Terhadap RUU dari DPD, DPD berkesempatan memberikan penjelasan, sedangkan DPR dan Presiden memberikan pandangan; 4) DIM diajukan oleh masing-masing lembaga negara, sehingga seharusnya DIM diajukan oleh DPR, bukan fraksi; 5)Dalam pembahasan DIM, DPR hanya diwakili oleh alat kelengkapan DPR.
Dalam Pembahasan Tingkat I ketika penyampaian pengantar musyawarah, DPD, DPR, dan Presiden dapat menolak RUU di luar Prolegnas, sehingga pembahasannya tidak dapat dilanjutkan serta tidak dapat diajukan kembali untuk tahun sidang yang sama. Putusan MK ini membentuk mekanisme baru penyusunan dan pembahasan RUU yang dilakukan oleh tiga lembaga, yaitu DPR, Presiden, dan DPD (tripartit). Dalam mekanisme tersebut pembahasan RUU di internal diselesaikan masing-masing lembaga sehingga saat pembahasan tripartit, maka DPD dan Presiden tidak melakukannya bersama fraksi DPR.
Mahkamah juga memutuskan, DPD menyampaikan pendapat akhir dalam Pembahasan Tingkat II ketika rapat paripurna DPR sebelum tahap persetujuan.
Ihwal keterlibatan DPD dalam penyusunan Prolegnas, Mahkamah menilai ketentuan UU P3 yang tidak melibatkan DPD dalam penyusunan Prolegnas mereduksi kewenangan DPD yang ditentukan oleh UUD 1945, padahal keikutsertaan DPD merupakan konsekuensi norma Pasal 22D ayat (1) UUD 1945. Apalagi, penyusunan Prolegnas sebagai instrumen perencanaan program pembentukan undang-undang merupakan bagian hak dan/atau kewenangan DPD untuk mengajukan RUU.
Putusan MK ini membentuk mekanisme baru penyusunan Prolegnas, yaitu dilakukan oleh tiga lembaga, yaitu DPR, Presiden, dan DPD (tripartit). Dalam mekanisme tersebut, pembahasan Prolegnas di internal DPR diselesaikan terlebih dahulu oleh fraksi dan komisi DPR.
Sedangkan menyangkut perppu, DPD berwenang dalam pengajuan dan pembahasan RUU tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menyangkut lingkup bidang DPD.
Sebagai pengawal dan penafsir konstitusi (the guardian and the interpreter of the constitution), Putusan MK itu berkah tak ternilai. MK mengakui kehadiran DPD justru melengkapi desain lembaga legislatif. Dengan dua kamar dalam parlemen maka inter-chamber relations merupakan perwujudan checks and balances antarlembaga legislatif. Dalam sistem ketatanegaraan yang modern, checks and balances tidak hanya antara eksekutif, yudikatif, dan legislatif, namun juga checks and balances antarkamar lembaga legislatif. Salah satu tujuan dibentuknya dua kamar dalam parlemen adalah mengoptimalisasikan fungsi legislasi, sebab two eyes are better than one eye--dua mata yang bekerja dalam legislasi akan lebih baik.