Cerpen Imron Supriyadi
Namaku Ibnu Hajar. Tapi orang lebih suka memanggilku dengan nama singkat ; Benu, alias : B-e-en-u, Benu. Panggilan yang sebenarnya tidak terlalu rela kudengar. Tapi, sepertinya, orang lebih enak menyebut Benu, ketimbang harus memanggilku dengan Ibnu.
Sekali lagi, namaku Ibnu, kenapa menjadi Benu? Ah, dasar memang! Sepertinya, realitas kita memang sudah memicu orang semaunya memilih jalan hidup, termasuk memanggil atau menyebut nama orang. Sekedar satu detik untuk mengatup bibir pada huruf 'b' saja sudah tidak mau, apalagi untuk melakukan perubahan. Ah, wajar saja kalau kemudian banyak orang terdidik untuk memilih hidup dengan logika lompat katak.
"Logika lompat katak?" tanya Ibu pada suatu ketika.
"Iya, Bu,"
"Apa itu?"
"Ya, kenyataan kita saat ini, Bu. Hidup mau enak, punya uang banyak, pakaian mau bagus, tetapi kerja keras tidak mau. Akhirnya menjalani hidup selalu potong kompas, menyuap, menyogok, membunuh, merampok. Dan Anehnya, Bu. Hidup seperti katak ini bukan saja dilakoni oleh orang bawah, tetapi juga para atasan kita."
"Ah, masa begitu, Nak?"
"Bener, Bu!" jawabku meyakinkan.
"Kalau tidak percaya, nih Ibu Baca koran pagi ini. Politik Uang marak, menjelang Pemilihan Walikota. Dan ada lagi Bu, Menjelang Suksesi, Gubernur bagi-bagi uang Siluman."
"Lho, itu kan demi kebaikan, Nak."
"Ya, kebaikan untuk LPJ-nya. Besok atau Lusa, kita dibuatnya lapar lagi, Bu. Itu sama saja potong kompas, sama seperti hidupya katak. Lompat sana-lompat sini. Jadi mereka itu, Bu, tak ubahnya seperti katak."
"Hus, jaga mulutmu!" hardik Ibuku rada marah.
Ibu, kembali merajut kain. Aku masih bercerita tentang apa saja, yang aku suka.
Namaku masih Ibnu, dipanggil orang dengan Benu!. Tahun 80-an, aku tinggalkan sekolah. Padahal, kata orang, sekolahku adalah bagian dari penjara suci di negeri ini. Tapi aneh, tempat-tempat yang selama ini kuanggap suci, sakral, atau orang-orang yang kuangap tak pantas melakukan tindakan kekerasan dan keji, justeru telah mengguruiku menjadi manusia amoral.
Bagaimana tidak? sejak sekolah, guruku sudah mengajari aku dengan kekerasan. Memukul, menjemur, menendang, bahkan salah seorang teman ada yang tangannya disundut rokok, hanya gara-gara lupa mengerjakan Pe-er.
"Puih! Sekolah macam apa itu!" aku mengumpat.
Makanya, sejak ia keluar sekolah, temanku itu, sampai sekarang, menjadi manusia pendendam, suka melakukan kekerasan terhadap teman sendiri. Kalau ini yang terus terjadi, berarti, sekolah hanya akan menciptakan manusia yang siap akan menjajah manusia lain. Ini tidak boleh terjadi. Kita harus merdeka dari penindasan siapapun. Guru, pejabat atau presiden sekalipun tidak boleh dan tidak berhak menjajah siapapun. Kalau semut saja bisa menggigit, kenapa aku harus diam?
Masih tahun 80-an. Aku keluar dari asrama, yang dianggap orang-orang sebagai penjara suci itu.