Argumentasi Kiai Madjid diatas (Penyakit Kaya #01), kembali mengingatkan saya pada sosok Mang Eman, salah satu orang kaya pengacara kondang di Sumsel. Karirnya bukan kelas teri. Sebab hampir di sebagian kabupaten dan kota di Sumsel, bahkan Jakarta, nama Eman sudah demikian akrab.Â
Dalam kasus-kasus hukum yang  besar, termasuk kasus Abu Bakar Ba'asyir, yang sempat menjadi buruan polisi dunia karena dituduh teroris,  juga pernah ia dampingi.Â
Wajar saja jika sesekali Kang Eman berganti-ganti mobil. Bagaimana tidak, kalau sekali tanda tangan kontrak kuasa saja, nilainya bisa ratusan bahkan miliaran rupiah. Fantastiskan? Sudah pasti semua orang akan tergiur.
Dalam tampilan fisik, Kang Eman benar-benar kaya. Kang Eman sudah melebihi dari teman-teman saya yang sebagian juga pengacara. Ada juga sebagian lagi wartawan, abang becak, mahasiswa, aktifis, Pekerja Seks Komersil (PSK) dan sejenisnya, yang sesekali sering ngumpul di rumah kontrakan saya. Â Tetapi apakah penampilan Kang Eman menjadi jaminan kalau Kang Eman benar-benar kaya? Â
Malam itu, saat kami berkumpul di rumah kontrakan saya, Adi sedang butuh uang Rp.3 juta rupiah untuk pengobatan ibunya. Kontan saja, malam itu saya dan kawan-kawan membuka "dompet sumbangan" secara spontan. Diantara kawan juga melakukan kontak melalui sms dan BBM dengan rekan lain, termasuk kepada Kang Eman, agar bisa membantu.
Dalam hitungan hari, terkumpul uang Rp 5 juta rupiah. Anehnya, malam itu Kang Eman mengaku tidak punya uang. "Nanti, kalau saya sedang ada uang saya akan kirim ke Adi. Tagihan saya masih banyak yang ngadat," ujarnya menjanjikan.
Tetapi sampai ibunya Adi sembuh, sumbangan dari Kang Eman tidak pernah datang. Dan sejak itu, kami tak lagi menagih janji Kang Eman. Bagi kami, perilaku Kang Eman, atau mungkin juga terjadi pada sebagian kita, sudah cukup memberi argumentasi, untuk mamaknakan siapa orang kaya dan siapa orang miskin.
"Dik, tolong uang kakak yang waktu itu segera diselesaikan," tiba-tiba ada SMS masuk ke HP Adi, salah satu teman saya. Mahasiswa itu seketika terdiam. Â Semula, Adi berharap SMS itu klarifikasi keterlambatan bantuan untuk pengobatan ibunya. Tetapi, ternyata, kali itu Kang Eman justeru menagih utang kepada Adi. "Terima kasih, Kakak telah menyelematkan saya dari pertanyaan kubur soal utang. Insya Allah akan segera saya selesaikan," balas SMS Adi.
Palembang, 14 November 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H