Sampai detik ini, saya adalah salah satu orang yang tidak percaya Jokowi bakal ikut dalam perebutan kursi Gubernur DKI Jakarta. Mungkin naif karena Walikota Solo itu kini menjadi satu-satunya kandidat yang masih dimiliki PDI Perjuangan. Tetapi, banyak hal yang menurut saya luput dari perhatian khalayak utamanya media (terutama lokal) yang seakan-akan telah memastikan Jokowi bakal turut berlaga untuk menjadi DKI-1.
Mari kita sedikit flashback agar argumen saya bukan karena sekadar rasa owel jika Jokowi meninggalkan Solo. Kita mulai dari fit & propertest yang dilakukan PDI Perjuangan untukmencari kandidat dalam Pilgub tersebut. Selasa (6/3) lalu, PDI Perjuangan mengundang beberapa kandidat untuk mengikuti uji kelayakan. Jokowi yang sejak awal tidak mendaftar, turut diundang. Undangan hanya melalui telepon Sekjen diterima beberapa jam sebelum pelaksanaan fit and propertest.
PDIP sebenarnya bukan partai yang dapat mengusung sendiri kandidatnya di Pilkada DKI karena tak memiliki kursi lebih dari 15 buah di DPRD sebagai syarat minimal. PDIP harus berkoalisi. Partai yang paling dekat untuk diajak bareng-bareng adalah Gerindra. Konon Gerindra juga tak masalah jika Jokowi yang dicalonkan meski sebenarnya cenderung memilih Nono Sampurno. Belakangan Nono yang turut menjalani uji publik, balik kanan karena rela menjadi DKI-2 dipasangkan dengan Alex Nurdin oleh Partai Golkar-PPP dan PDS.
Dengan kursi yang terbatas, apa yang dilakukan PDIP dengan melakukan uji publik tersebut sesungguhnya sedang melakukan penjajakan ke mana mereka akan turut mendukung. Saya tidak yakin PDIP, memilih mengajukan calon sendiri ketika tahu mereka tidak akan menang. Beberapa petinggi partai itu memberikan sinyalemen jika dari hasil survei yang telah dilakukan elektabilitas Jokowi masih terlalu jauh dari incumbent. “Jokowi memang paling populer dari kandidat yang dimiliki PDIP, tetapi belum bisa mengejar,” begitu seorang petinggi PDIP memberikan mengirim pesan singkat kepada saya.
Kalau demikian, buat apa ada uji kelayakan? PDIP sedang berusaha menaikkan citranya sebagai partai yang memiliki kader brilian. Tentu akan menjadi pertanyaan yang tak akan ada habis-habisnya jika partai itu menutup mata terhadap kadernya semacam Jokowi. PDIP, menurut saya, berusaha untuk mengatrol citranya dengan mendompleng citra Jokowi. Dengan kata lain, Jokowi tengah dimanfaatkan oleh partainya. Jokowi bukannya tak tahu, karena itu dia tidak pernah lupa untuk memberikan statment, “saya tidak pernah mendaftar dan tidak akan mendaftar (sebagai calon gubernur DKI). Tapi kalau saya diberi tugas dan itu untuk negara ya harus siap. Tentu saja semua juga harus dihitung,” ujar Jokowi.
Alasan lain mengapa PDIP melakukan uji kelayakan kepada calon kandidat adalah soal penyakit pragmatisme yang memang akut menghinggapi partai politik. Apalagi kalau bukan soal “jualan kendaraan”. Mengenai hal ini tak perlu saya bahas karena bukan soal ituyang hendak dibicarakan.
Panggung Baru
Pilkada DKI Jakarta, menjadi panggung baru bagi Jokowi setelah berbulan-bulan mem(di)populerkan mobil Esemka. Undangan fit and propertest dari DPP PDIP itu menurut saya menjadi celah bagi Jokowi untuk sedikit menurunkan tensi perhatian publik terhadap Esemka. Sembari menata infrastruktur Esemka yang harus diakui sesungguhnya belum siap untuk mengikuti manuver Jokowi dalam mempromosikan, Jokowi tak ingin kehilangan momentum untuk terus menjadi trendsetter. Untuk apa?
Seperti yang dikehendaki banyak orang, saya menjawab Jateng-1. Jokowi memang berulang kali menyatakan tidak akan meneruskan karier politiknya seusai menjadi walikota, namun siapa yang akan mampu menahan kehendak publik jika menginginkan agar dia bersedia memimpin Jawa Tengah. Saya yakin, Jokowi tak akan kuasa menolak. Oleh karena itu investasi politik harus dilakukan. Apalagi Bibit Waluyo yang saat ini menjadi gubernur, bahkan seperti sudah menempatkan Jokowi sebagai bakal saingannya di Pilgub Jateng 2013 nanti.
Jokowi bukan lah tipe orang yang suka berhadap-hadapan apalagi untuk menjatuhkan lawan politiknya. Seperti yang dia tunjukkan selama ini. Sekalipun dia “disakiti” Jokowi memilih bermain biliar untuk menyodok lawannya. Filosofi khas Jawa, merendahkan diri sembari menjunjung setinggi lawannya, kerap dimainkannya. Itu lah yang dilakukan pula untuk menghadapi Bibit, incumbent yang tentu akan menjadi lawan terkuat jika Jokowi benar-benar hendak berebut H-1.
Dengan mengikuti “perintah” partai mengikuti fit and propertest, Jokowi sesungguhnya sedang mengukur sekaligus meyodok “lawannya”. Jokowi sedang mengibarkan benderanya setinggi-tinggi. Jokowi memilih langkah zigzag karena sadar untuk Jateng-1 pun, dirinya tak akan mulus meraih tiket. Oleh karena itu dia berusaha agar calon lawannya berhitung. Kira-kira dengan keputusannya yang seolah-olah bakal maju di Pilgub DKI, Jokowi hendak menyampaikan pesan, “DKI saja menghendaki saya lho, masa’ Jateng tidak?”.
Oleh karena itu lah, saya percaya Jokowi tak akan pergi ke mana-mana. Dia akan tetap di Jawa Tengah, maksudnya saya sebagai Walikota Solo setidaknya sampai tahun depan. Wong Solo tak perlu risau bakal ditinggal di tengah jalan karena dengar-dengar bakal ada aksi “nggondeli Jokowi”. Salam.
bisa dijuga dibaca di http://imronrosyid.net/2012/03/biliar-ala-jokowi/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H