Mohon tunggu...
Imron Rosyid
Imron Rosyid Mohon Tunggu... -

bapak rumah tangga, freelance, sedang merintis menjadi pelaku UMKM

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kehambaran Program Pembangunan Kota Solo

11 November 2012   06:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:38 622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rasanya sudah lama tidak ada lagi perbincangan di kelompok-kelompok masyarakat di Solo perihal penyusunan APBD. Saat ini, sejak Walikota Solo FX Hadi Rudyatmo menyerahkan nota Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas & Plafon Anggaran Sementara (PPAS) APBD 2013 per 1 November lalu, Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TPAD) dan DPRD melakukan rapat marathon untuk menyusun RAPBD 2013. Di media massa, perdebatan juga tak muncul sebagai pemberitaan. Kalau pun ada hanya sepotong-sepotong misalnya soal rencana menambah honor Linmas atau semacamnya. Sementara masalah yang lebih substansial tidak terangkat.

Pada tahun depan APBD Kota Solo direncanakan akan mencapai Rp 1,3 triliun lebih. Membaca dokumen PPAS 2013, ada ketimpangan antara pendapatan dengan belanja. Di sisi pendapatan, proyeksinya hanya sebesar Rp 1.330.062.356.000 sedangkan di sisi belanja dipredisikan akan mencapai Rp 1.353.041.501. 000. Artinya jika tidak ada lagi pendapatan yang bisa diintensifikan atau belanja yang dipotong, terjadi defisit sekitar Rp 23 miliar. Pemerintah Kota Solo melalui TAPD dan juga DPRD nampaknya ingin membuat APBD 2013 nanti tidak ada deficit meski bukan tidak mungkin tetap deficit yang artinya harus mencari pinjaman untuk menambal kekurangan tersebut.

Defisit atau tidak menurut saya bukan persoalan yang utama sepanjang hal itu rasional. Untuk apa sebenarnya anggaran Rp 1,3 triliun itu dibelanjakan? Secara detail memang belum diketahui tetapi membaca dokumen PPAS ini, akan terlihat jika politik penganggaran yang berlangsung masih sangat normative dalam arti hanya sekadar menjaga kelangsungan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Mengapa demikian? Karena dari prirotas dan program yang bakal dibiayai, semuanya hanya berdasarkan pada nomenklasi atau kebiasaan yang berlaku sebelumnya.

Membaca dokumen PPAS –yang sebelumnya didahului dengan KUA—kita akan menemukan ketidaklogisan dalam menentukan strategi, program maupun kegiatan yang diadakan dalam rangka mencapai “outcame” berupa “Pelembagaan Tata Kehidupan Kota yang Berkeadilan, Ramah Lingkungan dan Berkarakter sebagai Kota Warisan Budaya.” Kenapa? Karena meski sudah diturunkan dalam prioritas pembangunan (saya membacanya sebagai strategi pencapaian), tidak ada kesesuaian di dalam program-program turunannya.

Ada 115 nama program yang direncanakan akan dilaksanakan sepanjang tahun 2013 mendatang. Ke-115 program tersebut merupakan turunan dari strategi yang di dalam bahasa PPAS adalah focus pembangunan. Fokus yang pertama ditulis “Melanjutkan penyelenggaraan birokrasi dan tata kelola kepemerintahan (governance) untuk menciptakan pelayanan public yang berkeadilan,” yang akan dilaksanakan dengan 9 program. Kemudian yang kedua, “Memantapkan pertumbuhan ekonomi kreatif dengan memperkuat jaringan usaha ekonomi rakyat di bidang industry, perdagangan, dan pariwisata” dengan 29 program. Fokus yang ketiga berupa “Pelembagaan tata kehidupan bermasyarakat yang berkeadilan berbasis pada nilai-nilai adiluhung budaya Jawa,” memiliki 5 program.

Sedangkan focus yang keempat yakni “Perluasan aksesibilitas dan kualitas pendidikan bagi semua kelompok masyarakat tanpa diskriminasi” hendak dicapai dengan 11 program. Fokus yang kelima berupa “Pemantapan pelayanan kesehatan dan Sistem Jaminan Kesehatan masyarakat yang berkeadilan,” dilakukan dengan 10 program. Kemudian yang keenam yakni “Pemeliharaan dan perluasan sarana dan prasarana kota dan pengembangan kawasan perkotaan yang ramah lingkungan dan berkarakter budaya Jawa,” dengan 28program. Ketujuh, “Pemantapan kondusifitas daerah untuk memantapkan tata kelola kota yang berkeadilan,” dengan 12 dan focus yang terakhir adalah “Perluasan pengembangan Kota Layak Anak,” dengan 11 program.

Melihat kuantitas program di masing-masing prioritas, justru terasa aneh jika priotas kedua yakni Pelembagaan tata kehidupan bermasyarakat yang berkeadilan berbasis pada nilai-nilai adiluhung budaya Jawa hanya memiliki lima program. Padahal jika dihubungkan dengan tema pembangunan 2013, focus kedua ini nyaris serupa. Ini baru dalam hal jumlah program, belum soal substansi program yang dimaksudkan yang jika dibaca secara teliti sulit rasanya jika program yang dibuat itu berkesesuaian. Misalnya saja di focus yang pertama, mengenai birokrasi dan tata kelola kepemerintahan, dari 9 program yang dicantumkan, menurut saya hanya lima program yang berkesesuaian.

Saya tidak bisa memahami bagaimana focus pembangunan mengenai birokrasi dan tata kelola pemerintahan itu memiliki turunan program seperti 1) Pemberdayaan Fakir Miskin, Komunitas Adat Terpencil (KAT) dan Penyandang Masalah Sosial (PMKS) lainnya, 2) Program pelayanan dan Rehabilitasi Kesejahteraan Sosial. 3) Program pembinaan panti asuhan/panti jompo dan 4)

Program pembinaan para penyandang cacat dan trauma. Bukannya program itu tidak penting, tetapi apa kaitannya empat program tersebut dengan soal penyelenggaraan birokrasi. Menurut saya, keempat program itu salah kamar.

Pembuatan program-program di dalam APBD 2013 juga bukan untuk menjawab persoalan riil di masyarakat. Lihat saja di focus pembangunan ekonomi kreatif yang berjumlah 29 program ini. Rasanya, setidaknya ada tujuh program yang tidak mencerminkan masalah di Kota Solo. Bagaimana tidak, ketujuh program itu seolah mengatakann jika Solo memiliki potensi di bidang pertanian, peternakan perikanan dan pertambangan. Dari kuantitas saja, dibandingkan dengan sector perdagangan dan jasa yang merupakan potensi perekonomian terbesar di Solo, sudah tidak masuk akal dengan membuat enam program di sector pertanian dan peternakan atau pun perikanan.

Pembuatan program yang hanya mengikuti nomenklasi semakin kentara ketika dalam dokumen itu menggunakan istilah perdesaan di beberapa program, seperti Program pengembangan lembaga ekonomi pedesaan, di focus pembangunan ekonomi kreatif atau Program peningkatan partisipasi masyarakat dalam membangun desa dan Program peningkatan keberdayaan masyarakat pedesaan pada focus pembangunan menjaga kondusifitas derah.

Hal lain yang membingungkan, adalah penetapan sasaran focus pembangunan. Di dalam dokumen tersebut sulit membedakan yang dimaksud dengan sasaran dan program. Hal itu dikarenakan “bahasa”sasaran itu sama dengan “bahasa” program. Entah apa yang terpikir dengan penyusun dokumen ini dengan menuliskan “Penciptaan dan pengembangan wirausaha baru” sebagai sasaran dan “Pengembangan Kewirausahaan dan Keunggulan kompetitif UMKM” sebagai nama program.

Bila program yang disusun sudah acak kadut dan bukan berdasarkan permasalahan yang terjadi, saya yakin pada saat pengalokasian anggaran juga semakin semrawut. Tidak percaya, nantikan di seri tulisan berikutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun