Setelah sempat menuai kontoversi, akhirnya, Senin, 19 Juni 2017 Presiden Joko Widodo membatalkan program sekolah lima hari yang lebih dikenal dengan istilah Full Day School (FDS). Didampingi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Ma'ruf Amien, Mendikbud Muhadjir Effendy menyampaikan hal tersebut di istana negara.
FDS sendiri adalah aktivitas sekolah yang dilaksanakan selama 8 jam sehari, selama 5 hari dalam satu minggu yakni dari Senin hingga Jum'at. Sementara Sabtu dan Minggu ditetapkan sebagai hari libur. Kemendikbud hendak memberlakukan sistem ini demi menguatkan karakter siswa hingga sejalan dengan Program Penguatan Pendidikan Karakter (P3K) sebagai  implementasi dari Nawa Cita yang digulirkan oleh Presiden Joko Widodo.
Sayang, program ini menuai banyak kecaman. Sejumlah kalangan menilai, FDS hanya akan memberatkan pihak sekolah yang menghadapi keterbatasan sarana dan prasarana yang layak. Padahal, sekolah lima hari bukanlah barang baru dalam dunia pendidikan.
Di Bandung, hal ini sudah berjalan sejak 2010 silam. Di Purwakarta, sekolah lima hari telah dijalankan semenjak tahun ajaran 2011/2012 dengan konsep Pendidikan Tematik "Atikan Pendidikan Purwakarta Istimewa" yang diatur dalam Peraturan Bupati Nomor 69 Tahun 2015 tentang Pendidikan Berkarakter. Aktivitas belajar mengajar dimulai dari pukul 06.00 sampai 11.45 bagi SD dan SMP, serta pukul 06.00 sampai 14.00 bagi siswa SMA/SMK.
Lalu, dimanakah masalahnya? Permasalahannya adalah kita terlalu memaksakan pendidikan karakter diterima setiap siswa, sementara disisi lain, kita justru masih kekurangan tenaga pendidik yang kompeten dan berkarakter. Saya jadi teringat ungkapan Dale Carnegie dalam buku berjudul Leadership Mastery bahwa, saat seorang murid melakukan kesalahan, maka yang harus ditegur adalah gurunya. Nah, mungkin Itulah yang harus kita lakukan sekarang.
Di mata saya, pendidikan karakter itu adalah pendidikan rumahan. Pusatnya tentu ada pada orang tua yang menjadi teladan. Di kalangan warga sekolah, guru berkarakter akan menjadi contoh bagi mudrid-muridnya. Pendidikan karakter menjadi terdengar begitu rumit, karena masih banyak diantara kita yang terbiasa hidup tanpa karakter. Banyak orang tua atau guru belum mampu menjadi contoh yang baik bagi anak-anak.
Misalnya, seorang guru mengajarkan tentang kebersihan, tapi mereka sendiri sering buang sampah sembarangan. Mereka mengajarkan soal tepat waktu, tapi mereka sendiri malah molor. Mereka menyuruh untuk tidak kelayapan di jam-jam sekolah, tapi setengah dari jam kerja mereka dipakai untuk kelayapan di pasar-pasar dan tempat perbelanjaan.
Di sekitar saya juga banyak sekolah bagus dan bergengsi, guru-gurunya mungkin sudah banyak belajar teori pendidikan karakter. Tapi maaf saja, bagi saya mereka tidak berkarakter. Pernah suatu hari saya berkunjung ke salah satu sekolah. Di sana, saya melihat halaman sekolah penuh dengan sampah. Guru dan murid kompak membuang sampah sembarangan. Saya juga melihat dua orang guru yang tengah asik ngerumpi sambil menjaga perpustakaan. Padahal saat itu, banyak siswa yang lalu lalang dengan leluasa melihat kelakuan mereka. Masih banyak lagi contoh lain yang kerap luput dari pandangan kita.
Betapa susahnya kita belajar tentang bagaimana menunjukkan karakter kita yang sesungguhnya sebagai pendidik. Tak usah kita membincang Socrates, Plato, Ariestoteles hingga Confusius yang memiliki andil besar dalam dunia pendidikan. Tak perlu pula kita melakukan sejumlah eksperimen besar layaknya Einstein.
Yang perlu kita lakukan hanyalah memberi contoh baik yang dimulai dari diri pribadi. Bersih, tepat waktu, disiplin, tenggang rasa, dan sikap-sikap positif lainnya yang memang harus melekat dalam diri seorang pendidik. Jadi, saat mereka mengajarkan sikap-sikap itu, mereka sedang menjadi diri mereka sendiri, bukan sedang berakting. Mereka yang berpura-pura baik, tidak akan pernah bisa menularkan karakter yang baik.
Saya sempat berdiskusi dengan salah seorang sahabat tentang pendidikan karakter. Sahabat itu bekerja di kantor kedutaan Indonesia di Jerman. Melaluinya, saya coba mengorek informasi tentang pola pendidikan dasar di sana. Ia kemudian membincang banyak hal. Saya terkejut saat dia mengungkapkan bahwa di Jerman sana, setiap profesor akan mengisi pelajaran sains dasar di sekolah setiap minggunya.