Sekitar dua minggu sebelum wabah Covid-19 menyerang dan benar-benar menjadi perhatian dunia seperti sekarang, saya sempat hadir dalam satu pengajian di suatu kampung kecil di Sumbawa.
Kebetulan saat itu sedang hujan lebat. Saking derasnya, jamaah yang duduk di saf-saf belakang bahkan tak bisa mendengarkan isi khotbah dengan jelas. Mungkin karena atap masjid yang terbuat dari seng sehingga pantulan suaranya agak keras.
Saya masih ingat. Materinya tentang betapa pentingnya sholat berjamaah di masjid. Ada banyak sekali riwayat dan hadist yang dikutip. Ada banyak keutamaan sholat berjamaah yang dijelaskan. Intinya, sholat berjamaah di masjid lebih baik ketimbang sholat sendiri-sendiri di rumah.
Meskipun demikian, pemateri juga menjelaskan bahwa ada juga hal-hal atau keadaan tertentu yang membuatnya bisa ditolerir. Dijelaskan bahwa dulu di zaman sahabat nabi, pernah terjadi hujan lebat yang kemudian membuat jalan berlumpur dan becek. Adzan ketika itu bahkan dirubah redaksinya dari hayya ala shalah (mari melaksanakan shalat) menjadi shalatlah di rumah kalian masing-masing.
Artinya, jangankan karena wabah yang berpotensi menghilangkan nyawa manusia, karena hujan lebat saja, kita masih diberi kemudahan untuk beribadah. Tentu saja ini bukan soal lebih takut kepada wabah ketimbang dzat yang menciptakan dan mematikan wabah itu. Ini soal cara pandang dalam menghadapi ujian saja.
Dalam hal Corona, saya lebih memilih manut kepada fatwa MUI sebagai otoritas yang sah. Lagian Covid-19 ini bukan wabah biasa. Ia adalah teror yang membuat banyak warga dunia frustasi. Penyebarannya amat cepat karena tidak hanya melalui kontak fisik. Korbannya terus berjatuhan.
Di zaman lampau, peristiwa semacam ini dicatat dengan baik, termasuk pada zaman Nabi Muhammad dan zaman khalifah Umar bin Khattab. Karantina dan pembatasan sosial menjadi langkah yang harus diambil, sebab jika tidak bisa berakibat fatal bagi hilangnya nyawa.
Di Arab Saudi, setelah jumlah korban mencapai 1.000 orang, pemerintah segera mengambil langkah antisipatif dengan menutup dan mengkarantina kawasan strategis seperti Mekkah dan Madinah. Praktis ibadah haji dan umrah, juga ziarah ke makam Nabi Muhammad SAW yang selama ini menjadi jantung spiritualitas umat Islam tidak bisa lagi dilakukan selama wabah.
Langkah tersebut sebenarnya teramat berat, tapi mesti diambil demi menghindari dampak yang lebih besar. Nah dalam konteks ini, sebenarnya apa yang dilakukan oleh pemerintah Arab Saudi bisa menjadi pelajaran bagi kita di Indonesia.
Jika Masjidil Haram dan Masjid Nabawi saja dikarantina untuk menghindari dan mencegah penyebaran wabah, maka apa yang dianjurkan MUI agar umat Islam tidak melaksanakan shalat berjamaah di masjid, termasuk shalat Jum'at juga sah-sah saja. Beribadah di zaman wabah, tentu saja mesti mengedepankan keselamatan dan kemaslahatan banyak orang.