Berkunjung ke makam mereka yang dikeramatkan selalu memberikan sensasi tersendiri. Saya merasakan ada energi kuat yang pancarannya masih terasa, menggerakkan kaki untuk berziarah, serta menjaga hati agar tetap hangat, meskipun nyala api yang menyatukan kita telah menjadi kisah yang dituturkan dari mulut ke mulut.
Kemarin, saya berkunjung ke makam Haji Abdul Karim yang terletak di dusun Karongkeng, Tarano, Kabupaten Sumbawa. Oleh warga setempat, makam ini sering disebut sebagai makam keramat Haji Kari. Letaknya berada di atas area perbukitan. Pemerintah telah menetapkan makam ini sebagai cagar budaya islam yang teregistrasi secara nasional.
Dari beberapa sumber, saya telah membaca sejarah tentang makam Haji Kari. Dikatakan beliau adalah seorang pengamal islam yang disegani. Sepulang dari tanah suci, Haji Kari kemudian menyebarkan agama islam di Sumbawa pada awal abad ke 16 Masehi. Jauh di bagian timur Sumbawa, beliau membumikan islam sebagai jalan hidup orang banyak.
Apapun itu, makam Haji Kari adalah sekeping sejarah dan warisan akulturasi budaya yang sangat bernilai. Melalui makam ini, kita menyaksikan satu fase dimana islam menjadi sukma yang harumnya terus semerbak hingga sekarang. Sayang, makam ini sepi pengunjung. Tak banyak generasi muda yang mengetahui keberadaannya. Tak banyak orang yang datang berziarah lalu mendoakan sang penyiar agama. Bahkan, makam ini tidak dijadikan objek wisata sejarah oleh pemerintah setempat.
Meski demikian, saya tetap bersukur sebab makam Haji Kari telah dipagari sehingga membuatnya sedikit terawat dan menjaganya dari banyak manusia aneh yang senang menjadikan makam keramat sebagai tempat meminta-minta.
Persis disamping makam Haji Kari, juga terdapat makam lain yang juga dilindungi. Makam itu dibangun dengan nisan dari batu alam, bertuliskan huruf arab melayu dan ukiran ornament bunga dengan panjang dua kaki. Seorang ahli Filologi Indonesia yang mengajar di Universitas Leiden Belanda, Doktor Suryadi, telah menerjemahkan tulisan pada makam tersebut.
Terjemahan nisan sebagai berikut : Bermula inilah ingatan dari Paduka Muhammad Idris Syah ibni almarhum Muhammad Aly pada tahun sanat 1271 kepada hari bulan Dzulhijjah pada hari Jumat waktu jam 2 ke 8 siang Allahummaghfirlahu warhamhu wa’fuanhu. Tak begitu banyak sumber mengenai siapa Muhammad Idris Syah. Apakah tokoh ini juga ikut membantu Haji Kari dalam menyebarkan islam? Entahlah. Yang jelas, terjemahan itu adalah penemuan yang sangat berharga, serta menjadi pintu masuk bagi sejarawan demi melengkapi serpihan sejarah islam di bumi Sumbawa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H