Saya termasuk orang yang beruntung sebab bisa kuliah dan tinggal di Lombok. Di mata saya, pulau seribu masjid ini adalah belantara luas yang selalu menarik untuk dijelajahi. Setiap orang tentu bisa menikmati perjalanan panjang di Lombok, lalu dengan perasaan bangga mulai menuliskannya sebagai bahan rujukan dan referensi bagi orang lain.
Baru-baru ini, saya mengunjungi sebuah masjid yang terletak di Jurang Malang, Desa Pakuan Narmada, Lombok Barat. Belakangan, masjid ini mulai ramai dikunjungi dikarenakan bentuk bangunannya yang khas dan unik. Penasaran dengan beberapa postingan sahabat di media sosial, sayapun berkunjung.Â
Sore itu langit sedang bersahabat. Tempat ini biasanya laris manis dari guyuran hujan. Setelah membayar retribusi masuk sebesar dua ribu rupiah, sayapun segera berkeliling. Layaknya dibanyak tempat wisata lain, komplek masjid ini juga ramai oleh para pedagang. Mereka antusias menawarkan jajanan kepada para pengunjung yang berdatangan.
Masjid Ridwan ini dibangun diatas dataran tinggi desa Pakuan. Para pengunjung harus melewati beberapa anak tangga untuk sampai dihalaman utama masjid. Yang membuat saya betah adalah pemandangan desa yang asri diselimuti udara sejuk karena berada disekitar daerah perbukitan.Â
Serupa masjid Ceng Hoo di Surabaya, masjid Ridwan memiliki kontur bangunan khas Tionghoa yang menawan dan elegan. Perpaduan warna merah dan kuning keemasan khas Cina, tampak mendominasi bangunan masjid ini. Yang lebih menakjubkan lagi adalah masjid berukuran kecil ini dibangun oleh pasangan mualaf beretnis Tionghoa Cina, Ang Thian Kok dan Tee Mai Fung dengan nama islam Muhammad Maliki dan Siti Maryam yang telah lama menetap di kota Mataram.
Ikhtiar Maliki tak sampai disitu, di Sangiang, Desa Langko Lingsar, Lombok Barat ia juga telah membangun masjid lain dengan kontur bangunan yang sama. Masjid itu ia beri nama masjid Abu Baqar Shiddiq. Semoga dilain waktu saya bisa kesana.Â
Sesaat membaca sosok Maliki membuat saya termenung. Dia bukanlah muslim fanatik, ia hanyalah seorang muallaf yang menyisihkan sedikit rezeki dari bisnisnya untuk membangun sebuah masjid. Saya membayangkan betapa banyak umat beragama dipelosok negeri ini yang hanya melihat agama sekedar bacaan saat beribadah, sehingga lupa membumikannya dalam ladang kehidupan.Â
Kita alpa untuk menjadikan agama sebagai pemberi rahmat bagi sekitar, lupa menjadikannya pupuk yang menggemburkan kehidupan, tidak menjadikannya sebagai embun untuk menuntaskan dahaga orang lain. Kita lupa mengasihi orang-orang disekitar kita tanpa memandang apapun agamanya. Di luar sana, kita justru sering melihat betapa banyaknya orang-orang yang selalu berbedat dan mempermasalahkan keyakinan.Â
Kita selalu mempermasalahkan ideologi, agama orang lain, berapa kali orang itu beribadah, tanpa membahas kepasitas dan kemampuan seseorang. Kita lebih sibuk membuktikan orang lain adalah kafir dan akan masuk neraka, tanpa menjadikan diri kita sebagai berkah bagi sekeliling. Kita juga tak membahas bagaimana langkah kecil yang akan kita lakukan dalam menggapai mimpi bangsa, yakin menciptakan suatu keadaan yang adil, rukun, damai dan tentram baik secara material maupun spritual.Â
Disaat kita masih berdebat tentang ideologi dan keyakinan, orang lain telah berusaha melesat maju dengan segala yang dimilikinya. Maliki mengakui bahwa aktivitasnya membangun masjid, tak pernah mempengaruhi keadaan perekonomian keluarganya. Bahkan dia berjanji akan tetap membangun masjid di tempat-tempat lain di Lombok.
Maliki tak pernah mempermasalahkan siapapun yang berkunjung ke masjidnya. Pintu masjid Ridwan selalu terbuka untuk siapa saja. Bagi wisatawan muslim, masjid ini adalah tempat peribadatan yang nyaman dan mendamaikan hati. Akan tetapi bagi para saudara yang berkeyakinan lain, masjid ini tentu bisa menjadi objek langka untuk mengabadikan moment berharga bersama pasangan dan keluarga.