Seringkali kita membanding-bandingkan nasib kita dengan teman, saudara atau bahkan dengan tetangga. Tidak jarang pula selanjutnya kita meratapi nasib dan merasa rendah diri. Kita merasa tidak bisa seperti mereka dalam hal pencapaian karier, keuangan, status sosial dan lain sebagainya.
Kita membandingkan rumah yang kita tempati jauh lebih kecil dari rumah mereka. Bahkan bertahun-tahun masih saja menjadi ‘kontraktor’ alias tinggal di rumah kontrakan.  Kendaraan yang kita tumpangi merupakan kendaraan butut dan jauh tertinggal dari kendaraan mereka.
Gaji kita terasa kecil. Pendapatan kita dalam satu bulan 15 koma. Artinya setiap tanggal lima belas setiap bulannya sudah koma, kembang kempis. Sedangkan gaji dan pendapatan mereka seakan tidak ada batasnya. Meminjam istilah Thomas Malthus, gaji dan penghasilan kita mengikuti deret hitung sedangkan gaji dan penghasilan mereka mengikuti deret ukur.
Kalau sikap kita suka membandingkan diri dengan orang lain seperti di atas, sudah tentu yang ada di dalam hati kita adalah ketidakpuasan. Yang nampak di pelupuk mata kita adalah kekurangan. Akibatnya, hilanglah rasa syukur di dalam hati atas nikmat dan pemberian Allah kepada kita.Â
Padahal di saat yang sama nikmat Allah yang diberikan kepada kita sangat banyak jumlahnya. Bahkan kita tidak akan sanggup untuk menghitung-hitungnya. Kita bisa bernafas dan menghirup oksigen yang disediakan oleh Allah secara gratis ini merupakan nikmat yang besar.
Di saat yang sama banyak orang yang untuk bernafas saja dia harus membayar sejumlah uang untuk membeli tabung oksigen. Jantung kita bisa berdenyut baik di saat kita sadar atau tidak ini merupakan nikmat yang besar.
Di saat yang sama ada orang-orang yang untuk mempertahankan hidup saja harus memakai alat pacu jantung. Kesehatan yang kita dapatkan ini juga nikmat yang luar biasa. Namun semua itu seolah-olah tidak tampak dan tidak kita rasakan karena tidak adanya rasa syukur atas nikmat Allah.
Kalau saja kita mau bersyukur maka Allah akan memberikan ketenangan di dalam hati kita.  Allah akan mencukupkan dan mengkayakan kita dengan sifat qona’ah yang Dia tanamkan ke dalam hati kita. Karena sejatinya kekayaan yang hakiki itu terletak di dalam hati, bukan apa yang ada di tangan. Meskipun tangan tidak menggenggam harta tetapi hati merasa cukup, maka itulah orang yang kaya sebenarnya.
Kalau kita ridha dengan ketentuan Allah, maka semua akan terasa mudah. Seberat apapun masalah maka akan terasa ringan. Semua itu tidak lain karena kita sudah meyakini bahwa ketentuan yang Allah berikan dalam hidup ini adalah yang terbaik untuk kita.
Jika kita diuji olehAllah dengan rasa sakit, kita yakin bahwa dibalik sakit yang kita rasakan terkandung hikmah yang besar. Mungkin Allah ingin mengampuni dosa-dosa kita dan menaikkan derajat kemuliaan kita di sisi-Nya.
Jika kita diuji dengan kekurangan harta dan kemiskinan, kita pun yakin dibalik ujian kemiskinan itu Allah menginginkan yang terbaik untuk kehidupan kita, kehidupan dunia dan lebih-lebih kehidupan akhirat.