Mohon tunggu...
imrokhatun khasanah
imrokhatun khasanah Mohon Tunggu... -

Sederhana

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Keruhnya Lautan Etika Indonesia

23 April 2015   10:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:46 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Dinamika di era millennium ke tiga adalah bagaimana suatu bangsa mampu menempatkan falsafah dirinya dalam melihat dunia. Untuk mendapati cara pandangyang bijak dalam menanggapi berbagai permasalahan global yang kompleks maka dibutuhkan kejantanan etika. Kejantanan etika diartikan sebagai keseriusan dan ketegasan suatu bangsa dalam menempatkan etika sebagai basis koreksi yang fundamen bagi seluruh aktivitas Negara, rakyat dan terutama para penguasanya. Tidak salah jika etika dijadikan barometer suatu peradaban bangsa sebab maju mundurnya peradaban di lihat dari bagaimana etika bangsanya. Meminjam istilah Franz Magnis bahwa “etika hadir bukan untuk menentukan mengapa seseorang mendukung kebaikan dan menentang keburukan melainkan mengapa ia perlu memilih untuk bersikap demikian”.

Permasalahan bangsa hari ini adalah ketika etika mengalami marginalisasi yang begitu dahsyat. Pengabaian terhadap etika dan moral terjadi sedemikian massif dalam sendi-sendi berbangsa dan bernegara. Kejadian yang begitu ironi ini tidak lain disebabkan oleh mendiasporanya faham pragmatis matrealistis yang dibawa oleh modernitas yang tak kunjung memberikan kepuasan bagi setiap pelakunya. Terpinggirkannya etika memberikan dampak buruk bagi keberlangsungan berbangsa dan bernegara.

Drama perpolitikan negri ini di isi oleh lakon-lakon konyol yang bermodalkan uang besar tanpa pertimbangan kapasitas intelektual. Karena lihai dalam memainkan perannya dalam pentas perfilman para artis juga turut diboyong partai demi mengeruk simpati dari para fans mereka. Politik transaksional yang tidak mengedapankan akal dan ideologi menjadikan politik hanyalah tukar tambah kekuasaan. Meminjam istilah Rocky Gerung semua hanya sebatas kebutuhan bertemu kepentingan. Sehingga layar tancep demokrasi ini hanya menyuguhkan defisit moral dan etikanya para pemimpin negri.

Para aparatur Negara yang sedang bermasalah dan dalam penanganan kasus tidak jarang mereka berani bicara “kalo saya belum terbukti secara hukum bersalah buat apa mundur”, padahal jelas hukum atau peraturan itu hanyalah formalisasi dari nilai etika, moral dan agama. Sehingga seharusnya mereka sadar melanggar etika lebih berat bebannya ketimbang melanggar hukum.

Disintegrasi pada tataran horizontal menjadi pemicu pecahnya bangsa ini beberapa puluh tahun mendatang. Nalar senjata selalu dikedepankan ketimbang nalar sehat. Dialektika yang positif tidak pernah terbangun untuk memikirkan bagaimana kita merawat bangsa ini secara bersama-sama. Tajamnya pedang dan ledakan senjata selalu menjadi jalan akhir yang mengenaskan dalam menyelesaikan setiap konflik.

Pendidikan yang diperagakan oleh Indonesia juga menunjukkan keroposnya nilai luhur pendidikan itu sendiri. Praktek plagiasi sedemikian rupa membudaya hingga tak jarang sekaliber gelar S1, S2 bahkan S3 di dapat melalui proses hina dan nista dengan membeli jasa pembuat tesis atau desertasi. Pemerkosaan intelektual juga terjadi dengan maraknya ghost writer yang siap menyediakan karya untuk mereka yang membutuhkan dan memilki banyak uang untuk membayar jasanya.

Keluhuran nilai agama justru tercoreng dengan berbagai kasus yang mempertontonkan ketidakmanusiawiannya agama itu sendiri. Dengan dalil-dalil ilahi yang diartikan secara parsial, mereka jadikan ayat tersebut sebagai senjata untuk menindas mereka yang berhaluan paham dan kepercayaan. Faham-faham yang menutup keran kedamaian dan toleransi tersumbat dengan kepentingan duniawi para tokoh agamanya sendiri. Lihat saja berapa banyak tokoh agama yang siap menjual dalil-dalil agamanya demi mendukung salah satu partai. Benar adanya jika Ali Syari’ati mengingatkan kita tentang bahaya Trinitiarinisme Sosial keadaan di mana para pemangku kebijakan, pemilik modal bahkan tokoh agama bersatu padu untuk merebut kepentingan duniawi yang semu secara kolektif.

Biasnya etika dalam berbangsa dan bernegara dan rusaknya etika setiap manusia ini berpeluang mengantarkan Indonesia pada pintu gerbang kehancuran. Lihat bagaimana sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah: “Jika amanah itu disia-siakan maka tunggu saat kehancurannya, ditanya bagaimana disia-siakan? Jika perkara diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya (H.R Bukhari).

Indonesia sebagai suatu Negara yang sebagian warga Afrika menyebutnya sebagai serpihan surga ini akan segera menjelma menjadi miniatur neraka yang siap menyiksa dan membumihanguskan para mahluk didalamnya. Mimpi-mimpi para generasi mendatang tentang negri yang indah dan ramah akan berubah menjadi mimpi buruk yang siap menghantui segala apa yang mereka cita-citakan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun