Mohon tunggu...
Iim Aja
Iim Aja Mohon Tunggu... -

Secangkir kopi pahit

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Maaf, Jika Aku Bohong

22 September 2014   23:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:54 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sekarang lagi musim hujan bu, sayang sekali ibu tak sempat menikmati hujan pertama bulan ini. Lihat , diluar masih gerimis ... rintiknya sperti membentuk garis tegak lurus tipis dari langit.  Biasanya saat-saat seperti ini kita berkumpul di ruang tengah menggelar tikar plastik di depan TV. Ibu yang biasanya memasakkan makanan entah itu pisang atau singkong goreng untuk kita. Tapi aku lebih suka memasak mie instan kesukaanku. Dan ibu sering komentar apa aku gak bosen sering makan mie, tak lupa ujungnya pasti bilang mie instan gak bagus buat kesehatan.  Aku selalu menjawab “la enak dan praktis lho bu”. Anakmu memang sedikit bandel bu, semoga ibu memakluminya.

Senja ini mendung bu, jadi tak ada semburat jingga di langit. Tak ada burung-burung sriti yang biasa terbang bergerombol  dari rumah kosong depan rumah kita. Hanya aroma kopi yang terasa sama saat biasa kita nikmati setiap senja. Ah tidak, rasa  kopi ini sedikit berbeda. Mungkin karena tak ada bekas bibir ibu pada cangkirnya. Berbagi kopi,kebiasaan  yang sering mengingatkan aku pada ibu. Kopi yang ku buat tadi masih hampir penuh bu, belum tersentuh. Berharap ibu yang meneguk duluan dan kemudian aku dan adikku berebutan menghabiskannya.  Kopinya sudah hampir dingin bu dan ibu tak jua datang untuk meneguknya seperti saat-saat kemarin.  Apa kopinya kurang enak bu? Ah tidak koq...kopi ini kopi yang sama.kopi yang biasa kita nikmati dulu. Biarlah, kuanggap sekarang ibu memang tak suka kopi lagi, dengan begitu aku tak berharap berbagi kopi lagi dengan ibu.  aku habiskan aja ya bu.... sruuuup. Kenapa rasa kopi ini aneh bu, oooh ternyata telah tercampur dengan air mataku. Aku gak menangis koq ibu, enggak. Cuma mataku pedih aja, pedih banget mungkin karna kena asap kopi. Iya bu...ini karna asap kopi. Bukan karna kangen ibu. ibu kan masih di sini kenapa mesti di kangenin. Iya kan...? aaah bu... baru kali ini asap kopi ini begitu pedih melukai mataku.

Senja sudah mulai beranjak malam bu, sebentar lagi suara adzan di masjid sebelah akan terdengar. Suaranya keras banget, karna letak toa nya mungkin tepat menghadap rumah kita ya. Eh itu bu...mbah bin udah adzan, tuh kan masih kenceng terdengar dari sini. Biasanya ibu akan siap-siap ke masjid. Aku bantu  siapkan mukena dan sajadah nya bu. Ah aku lupa bu, sekarang ibu tak prlu sholat lagi untuk berdoa pada Tuhan. Ibu kan sekarang deket banget dengan Tuhan, iya kan. Ibu sudah bisa berbicara langsung dengan Tuhan. Tuhan sayang banget sama Ibu, buktinya Tuhan lebih seneng Ibu bersama-Nya daripada membiarkannya bersama kami di sini. Baik-baik disana ya bu, kami di sini gak apa-apa koq. Bener gak apa-apa. Duh...asap darimana lagi sich yang membikin mataku pedih. Mataku sekarang sedikit aneh bu, mungkin saluran air matanya sedikit trouble jadi airnya keluar begitu saja. Ini bukan tangisan koq.... bukan.

Oh ya bu, dulu ibu pernah minta di tanamkan pohon jambu air di depan rumah. kami sudah menanamnya lho..lihat. Hujan tadi membuat dahannya begitu segar. Tapi masih kecil bu, entah berapa tahun lagi bisa menikmati buahnya. Nanti jika pohonnya sudah besar, kami akan duduk-duduk di bawahnya, bercerita tentang ibu. mungkin menceritakan tentang ibu pada anak-anak kami yang akan lahir nanti. Mereka pasti bangga punya nenek seperti ibu. seperti kami yang begitu bahagia dan bangga terlahir dari rahim seorang ibu berhati malaikat sepertimu. Semoga ibu tak akan pernah menyesal ya, punya anak-anak seperti kami. Ah tidak, ibu senang kan punya anak-anak seperti kami, buktinya ibu tak pernah membentak atau memarahi kami. Kalau ibu kecewa dengan kelakuan kami, paling hanya bilang “nduuk jangan...itu gak baik”. Kita kan biasa di dapur masak bareng-bareng ya bu. Kadang aku membicarakan si A yang bikin kesel, si  B yang ngatain saya begini begitu. Jangan berharap ibu membelaku. Paling hanya bilang “ ya biarin aja, nti kalo capek pasti berhenti sendiri  gak usah di bales, gusti Allah ga tidur”. Ah ibu, hati ibu di buat dari apa sich koq bisa sesabar itu.

ibu, pasti tak  menyesal melahirkan anak-anak seperti kami. Buktinya ibu sangat menyayangi kami. Bahkan menjelang ibu pergi, ibu tidak pernah mengeluh. Tak pernah mau membuat cemas anak-anaknya. Ibu selalu bilang “ ibu gak apa-apa,  ibu akan sehat, ibu pasti sembuh”. Ibu selalu tersenyum. Tak ada keluhan sakit dari mulut ibu, hanya terlihat tubuh ibu yang akhir-akhir ini perlahan mengurus. Penyakit sialan itu begitu kejam ternyata bu. Menggerogoti kebahagiaan kami dan merampas kebersamaan kami bersama ibu. huuuft...lagi-lagi mataku  pedih bu. Pediiiiiih banget. Sebentar bu, aku perlu menyekanya untuk menyumbat aliran air pada mataku ini. Ini bukan tangisan lo bu...bukan.

Saya tahu koq, ibu gak suka melihat anak-anaknya menangis. Waktu ibu di rumah sakit, ibu melihat mataku sembab. Padahal aku sudah berusaha menutupinya. Ibu bilang “ kenapa kamu nduk? Ibu ga apa-apa. kalo kamu begitu, ibu malah sedih”. Bu, saat itu aku ingin menangis sejadi-jadinya. Berteriak sekenceng-kencengnya. Memaki penyakit ibu, berteriak  pada Tuhan kenapa? Kenapa harus ibu?”aku benci saat-saat itu bu. Aku takut....takut waktuku bersama ibu tak lama lagi.

Dan apa yang aku takutkan benar-benar terjadi.  Ibu pergi meninggalkan kami. Dan kali ini untuk selama-lamanya. Mendadak terasa ada lubang besar menganga dalam dada ini bu...kosong.  aku berharap semua ini mimpi, dan saat aku terbangun aku masih mendapati ibu tersenyum dan memeluk kami. Tapi saat aku cubit lenganku sendiri, terasa sakit. Kenyataan kadang terlalu menyakitkan dari apa yang kita bayangkan ya bu. Saat itulah aku merasa mengalami kehilangan terbesarku. Maafkan kami ya bu, tidak bisa menjadi anak sesempurna ibu menjadi  ibu kami.  Terimakasih untuk semua rasa sakit yg pernah ibu rasakan saat-saat melahirkan kami, terimakasih untuk lelah dan jerih payah ibu membesarkan kami, terimakasih untuk semua kasih sayang, didikan dan saat-saat terindah bersama kami. terimakasih...terimakasih...terimakasih.

Ah ibu....tuch kan mataku semakin pedih. Kali ini pandanganku agak kabur karna air sialan di mata ini susah di tahan. Baik-baik di surga ya bu....kami cinta ibu. sangaaaat. Oh ya bu, tadi aku bilang ga kangen, maaf ya bu aku bohong.....
( Sad Memory's , Oktober 2013)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun