Mohon tunggu...
Imro Dili
Imro Dili Mohon Tunggu... -

Jl.Beringin

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

100% Lahan Kelola Masyarakat Kabupaten Kaur Terancam Tergusur

26 November 2011   15:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:09 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kabupaten Kaur memiliki luas wilayah sekitar 236.300Ha. Dari total luasn wilayah tersebut, 143.568,27 hektar (60,76 %) berupa kawasan hutan yang terdiri dari hutan lindung, taman nasional, taman wisata alam, hutan produksi tetap, dan hutan produksi terbatas. Sisanya sekitar 92.731,73 hektar (39,24%) beruypa areal peruntukan lain, yakni digunakan untuk arela pemukiman, pertanian, perkebunan, dan sebagainya di luar fungsi hutan. Kawasan hutan yang berfungsi sebagai fungsi perlindungan lingkungan dan pengawetan keanekaragama hayati (hutan lindung dan hutan konservasi) adalah seluas 107.342 hektar; sedangkan kawasan hutan yang dapat berfungsi sebagai kawasan budidaya hutan (hutan produksi) adalah 36.266, 27 hektar. (status lingkungan hidup daerah Kabupaten Kaur, 2007)

Sayang, pemerintah kabupaten Kaur hanya tidur melihat persoalan besar yang akan mengancam kabuapaten ini, berdasarkan data 16 nama perusahaan swasta baik perkebunan maupunpertambangan yang telah memegang izin prinsip yang dikeluarkan pemerintah daerah, melihat Sk. izin lokasi total yang akan dikuasai oleh perusahaan ini adalah 125.618 Ha. Dari data ini dapat dilihat bahwa total luasan yang diberikan kepada perusahaan melebihi APL atau areal kelola masyarakat. Jika rencana semua perusahaan ini berjalan mulus maka Kabupaten Kaur akan kehilangan seluruh APL (areal kelola masyarakat) semuanya, bahkan sampai kawasan hutan.

Dampak Sosial

Dampak sosial dari perkebunan kelapa sawit dan pertambangan memang menyediakan kesempatan kerja , namun sistem perkebunan dan pertambangan akan menjadikan petani dan buruh perkebunan tak ubah seperti perbudakan.

Kelapa sawit membutuhkan sekitar 5-7 tahun untuk berbuah. Artinya masyarakat yang bekerja akan mendapatkan bayaran kisaran 30 ribu per hari. Sementara lahan mereka belum menghasilkan namun membutuhkan pupuk dan pestisida, yang dibeli dari perusahaan kelapa sawit. Saat perkebunan mereka mulai berproduksi, pendapatan umum untuk lahan seluas 2 hektar adalah 900ribu per bulan.

Padahal kalau masyarakat mengelola sendiri areal kelolanya seperti karet, Kopi, Lada, cengkeh menghasilkan 500 ribu - 1,5 jt per bulan (data luas areal perkebunan, produksi, produktivitas, jumlah petani dan wujud produktivitas tanaman tahunan menurut jenis usaha tahun 2010) belum lagi ditambah palawija dan padi. Peluang dan kesempatan ini akan menjadi tinggal kenangan jika pemerintah tetap pada pendirianya memaksakan investor berjalan dan inilah bukti nyata bahwa pemerintah lebih pada memikirkan investor dibandingkan masyarakat lokal, yang merupakan program terbaik pemerintah memiskinkan masyarakat

Dampak Ekologis

Kalau saja kita berani berhitung, sebenarnya pengelolaan yang dilakukan oleh perusahaan tidak akan mendatangkan keuntungan bagi masyarakat setempat. Apa yang dilakukan justeru akan menimbulkan konflik horizontal dan vertikal di masyarakat. Karena lahan akan dikuasai oleh swasta.

Penelitian yang dilakukan Yayasan Telapak Indonesia tahun 2000 misalnya menyimpulkan bahwa perkebunan kelapa sawit bukanlah juru selamat, tetapi bencana bagi sumber daya alam dan rakyat, khususnya masyarakat adat. Sebagai contoh, pembukaan lahan perkebunan sawit di Sumatera dan Kalimantan adalah penyebab utama kebakaran hutan dan lahan yang menyebabkan kerugian negara tidak kurang dari US$ 9,3 juta. Penelitian itu juga menyimpulkan bahwa perkebunan kelapa sawit merampas akses dan

penguasaan tanah-tanah oleh masyarakat adat.

Sebuah penelitian lain yang dilakukan Paulus Florus (1999) juga menyimpulkan, bahwa pendapatan tidak tunai penduduk seperti sayuran, padi, umbi-umbian, jagung, kayu bakar, tanaman obat dan lauk pauk (di darat dan di sungai/danau) menjadi hilang ketika seluruh hutan dan areal pertanian dijadikan perkebunan kelapa sawit.

Dengan perhitungan lengkap, keluarga petani sebenarnya justru mengalami penurunan pendapatan antara 40-60% bila mereka menjadi petani sawit. Artinya, yang untung bukan petani sawit, tetapi pengusaha dan para Bupati (sipil dan militer) yang berkolusi dengan perusahaan.

Masih menurut Florus, perkebunan sawit menghancurkan lingkungan, terutama tanah dan hutan. Akibatnya, pendapatan dan gizi masyarakat akan jauh menurun. Sebelum ada perkebunan sawit, hutan dan tanah yang subur menyediakan bahan makanan, seperti jamur, daun pakis, rebung, sagu, umbi-umbian, madu, bahan obat-obatan, serta aneka jenis binatang buruan di darat dan di sungai yang bisa dikonsumsi. Hutan juga menyediakan bahan untuk membuat pakaian dan berbagai perlengkapan rumah tangga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun